1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jargon Kosong Solidaritas Islam

24 Oktober 2017

Sebagian kelompok Islam di Indonesia sering mendengung-dengungkan tentang pentingnya membangun “solidaritas Islam”, baik dalam skala nasional maupun global. Simak opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/2mHcz
Demonstration Organisation Islamische Verteidigungsfront (FPI)
Foto: Reuters

Dalam praktiknya apa yang mereka kampanyekan sebagai "solidaritas Islam” itu nyaris tak terwujud. Solidaritas Islam yang mereka gemakan itu hanya terjadi di dunia ide, di ruang maya, di jagat mitos, dan di alam khayalan. Bukan di dunia nyata. Di alam nyata, yang terjadi bukan solidaritas Islam, melainkan justru "permusuhan Islam”. Konsep "ukhuwah Islamiyah” itu nyaris hanya jargon kosong belaka yang sama sekali tidak bunyi di tataran realitas.

Solidaritas Islam atau "ukhuwah Islamiyah” memang kadang-kadang terjadi di dunia nyata tetapi sifatnya ad hoc dan terbatas. Skalanya juga sangat lokal. Bukan sebuah solidaritas atau persaudaraan yang bersifat universal, permanen, dan inter-lokal, apalagi inter-nasional.

Selain itu, tragisnya, sejumlah kelompok umat Islam menggemakan atau mengkampanyekan "solidaritas Islam” hanya karena didorong oleh kepentingan yang sama untuk mendiskreditkan atau bahkan menjungkalkan pihak lawan sesama Muslim. Sungguh ironis.

Penulis: Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: privat

Kenapa sulit?

Ada banyak faktor yang menyebabkan kenapa solidaritas Islam yang universal, permanen, inter-lokal, dan inter-nasional itu sulit terwujud dewasa ini. Di antara faktor itu karena umat Islam kontemporer telah terpecah-belah menjadi kepingan-kepingan kecil dalam bentuk negara, organisasi, lembaga, ideologi, mazhab, aliran, sekte, partai politik, dan seterusnya.

Semua itu telah membatasi gaya hidup, ruang gerak, ekspresi kebebasan, dan interaksi individual-sosial kaum Muslim.

Alih-alih ingin menegakkan dan memperjuangkan "solidaritas Islam”, umat Islam sendiri justru sibuk memperjuangkan dan membela negara, mazhab, ormas, lembaga, aliran, sekte, atau parpol mereka masing-masing.

Alih-alih ingin menegakkan solidaritas Islam, mereka sendiri malah sibuk berkelahi hanya karena berbeda pandangan keagamaan, pemikiran keislaman, tafsir atas teks-teks dan diskursus keislaman, organisasi kemasyarakatan, atau bahkan pilihan parpol dan paslon (pasangan calon) kepala daerah / kepala negara.

Alih-alih ingin memperjuangkan "ukhuwah Islamiyah”, mereka sendiri justru terperangkap ke dalam perjuangan memperebutkan kepentingan individu dan kelompoknya.

Alih-alih ingin menegakkan solidaritas Islam dan membangun ukhuwah Islamiyah, mereka sendiri malah sibuk saling mengafirkan, menyesatkan, menerakakan, dan memasygulkan.  

Bukan masalah baru

Fenomena perpecahan dan perseteruan antar-umat Islam ini sebetulnya bukan hal baru. Sejak detik pertama Islam lahir pun, permusuhan dan perpecahan sudah muncul, dan meruncing sejak wafatnya Nabi Muhammad tahun 632. Tetapi basis atau faktor penyebab perpecahan waktu itu masih sangat sederhana dan terbatas.

Zaman dahulu kala, perseteruan antar-umat Islam biasanya karena klaim atas superioritas dan otoritas suku dan klan (seperti "Dinasti Hasyim” versus "Dinasti Umayyah”). Ada juga perseteruan karena membela tokoh tertentu seperti faksi Ali versus faksi Mua'awiyyah. Faktor perpecahan lain karena mazhab teologi (seperti Mu'tazilah versus Sunni).

Faktor-faktor ini masih ada sampai sekarang bahkan semakin rumit. Perpecahan berbasis suku, klan, dan mazhab masih berlangsung hingga kini. Bahkan skalanya makin lebar. Tetapi basis atau faktor penyebab perpecahan yang membuat umat Islam semakin sulit memperjuangkan "solidaritas Islam” itu dewasa ini semakin banyak dan runcing. Bukan hanya masalah suku, klan dan mazhab saja tetapi juga negara-bangsa, partai politik, ormas keagamaan, sekte keislaman, perkumpulan berdasar kepentingan, klub, jaringan profesi, dan masih banyak lagi. 

Sibuk dengan rumah tangga masing-masing

Simak misalnya tentang pendirian negara-bangsa (nation-state) paska kolonialisme. Hampir semua kawasan yang mayoritas berpenghuni Muslim di dunia ini dari Afrika dan Timur Tengah hingga Asia, dulu menjadi daerah jajahan kolonial Eropa: Inggris, Perancis, Belanda, atau Italia. Hanya segelintir area saja (seperti Arab Saudi dan Iran) yang tidak mengalami penjajahan atau kolonialisme Bangsa Eropa.

Setelah pendirian negara-bangsa, kaum Muslim kemudian sibuk mengurusi kedaulatan dan rumah tangga negara-bangsa mereka masing-masing. Akibatnya, mereka kemudian terkotak-kotak hidup dalam sebuah teritori tertentu. Padahal dulu, mereka bebas-merdeka melintas-batas berbagai kawasan tanpa harus repot-repot mengurus paspor dan visa.

Perpecahan umat Islam di zaman pra-negara-bangsa lebih banyak dilakukan oleh elit politik di kerajaan. Tetapi di era negara-bangsa, bukan hanya elit saja yang berseteru tetapi juga umat atau rakyat biasa. Dulu hanya tentara yang dimobilisir untuk melawan musuh. Sekarang massa atau "wong cilik” ikut-ikutan dimobilisir untuk mengganyang lawan-lawan mereka yang ironisnya juga sesama umat Islam. 

Sejak pendirian negara-bangsa, kemudian muncul konsep sekaligus jargon baru: patriotisme dan nasionalisme (terhadap negara masing-masing). Negara kemudian menjelma menjadi "entitas suci” yang statusnya kurang lebih sejajar dengan agama. Konstitusi negara kemudian menjadi "kitab suci”. Sedangkan ideologi negara menjadi sepadan dengan ideologi agama. Akibatnya, kritik terhadap rezim pemerintah dianggap sebagai tindakan makar. Kritik terhadap konstitusi dipandang sebagai pelanggaran berat. Kritik terhadap ideologi negara dituduh sebagai tindakan inkonstitusional.

Dengan demikian, pendirian negara telah mengubah atau menambah daftar loyalitas umat Islam yang bukan hanya dituntut taat pada ajaran agama mereka saja tetapi juga pada negara (dan elemen-elemen utamanya). Bahkan dalam banyak hal, loyalitas pada negara harus diutamakan terlebih dahulu ketimbang ketaatan pada agama.

Dengan kata lain, solidaritas terhadap negara harus menjadi prioritas utama daripada solidaritas pada agama. Kepentingan negara harus didahulukan ketimbang kepentingan agama. Akibatnya, permusuhan dan pertempuran antar-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim pun tak terhindarkan dan terjadi dimana-mana sejak pendirian negara-bangsa pasca kolonialisme. Peperangan itu meletus bisa karena perebutan batas-batas teritori, faktor geopolitik, persoalan kepentingan ekonomi, atau bahkan karena masalah "gengsi kekuasaan”.

Bahkan bukan hanya perang antarnegara, perang antarfaksi (baik faksi politik, faksi ideologi, maupun faksi etnis) dalam satu negara juga kerap melanda "kawasan Islam” saat ini seperti yang terjadi di Irak, Suriah, Turki, Iran, Libya, Sudan, Aljazair, Libanon, Afganistan, Tunisia, dlsb.

Nyaris tidak ada negara yang mayoritas berpenduduk Muslim dewasa ini yang sepi dari konflik, kekerasan, dan permusuhan dengan sesama umat Islam. 

Jadi, masihkah Anda percaya dengan jargon kosong bernama "solidaritas Islam”?

Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.