1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Jadi Orang Indonesia di Bawah Kepemimpinan Trump

20 Maret 2017

Adilkah bila sepotong kertas yang menyatakan status resmi menjadi satu-satunya penentu seseorang bisa tinggal di AS atau didepak? Inilah opini Uly Siregar.

https://p.dw.com/p/2ZKSY
Mexiko Stadt - Mario Vazquez Santiago, Immigrant aus Guatemala
Foto: picture-alliance/AP Images/M. Ugarte

Negeri itu bernama Amerika Serikat. Ia sering disebut sebagai melting pot, tempat bertemunya beragam manusia dari berbagai penjuru bumi. Selama lebih 400 tahun, imigran datang ke AS dengan beragam alasan.

Sebagian melarikan diri dari perang, yang lain karena mencari suaka akibat tak mendapat kebebasan menjalankan kepercayaan yang mereka anut, atau karena inbgin lepas dari lilitan kemiskinan di negara asal mereka. Para pendatang ini melebur dengan masyarakat lokal AS bersama-sama mencoba meraih ‘American Dream', sebuah sukses yang diyakini dapat diraih dengan kerja keras si pemburu mimpi karena dukungan negara yang demokratis, menghargai hak asasi manusia, memberikan kesempatan yang sama pada setiap warga, dan menjunjung kesetaraan.

Penulis: Uly Siregar
Penulis: Uly SiregarFoto: Uly Siregar

Ratusan ribu imigran datang ke AS setiap tahun, menempati sudut-sudut negeri ini. Menurut data yang dirilis Department of Homeland Security tahun 2012 terhitung 484.072 imigran baru datang ke AS lewat jalur legal. Jadi data ini tidak menghitung mereka yang datang lewat jalur tak resmi, seperti yang menyusup dari perbatasan Meksiko, atau yang masuk dengan visa turis namun tak pernah meninggalkan lagi AS. Banyak jalan ditempuh imigran untuk hidup di negeri impian ini. Semua mendambakan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan di negeri asal.

Imigran adalah denyut nadi AS.

Sejatinya negeri ini memang dibangun oleh tangan-tangan dan kerja keras para imigran. Di antara jutaan imigran yang hidup di AS, imigran asal Indonesia juga memburu mimpi yang sama. Tak ada data pasti berapa jumlah warga negara Indonesia yang telah resmi melepas kewarganegaraannya dengan mengucap sumpah setia pada bendera "Star Spangled Banner". Diperkirakan lebih dari 120 ribu warga Indonesia kini tinggal di AS.

Menjadi imigran di AS bukan soal gampang. Adaptasi yang terus-menerus diperlukan untuk betah tinggal di negeri orang. Belum lagi bagi warga Indonesia, menjadi bagian dari kaum minoritas kulit berwarna membawa persoalan tersendiri. Mereka gampang dikenali dan tak jarang jadi korban perlakuan rasisme. Apalagi sikap Presiden Donald Trump yang tak ramah pada kaum imigran dipercaya menjadi semacam amunisi bagi kaum rasis untuk menjahati kaum kulit berwarna.

Bangkitnya kaum rasis

Teman saya, Dian, yang tinggal di negara bagian Michigan bercerita selama hampir 12 tahun tinggal di AS, akhirnya ia merasakan sendiri perlakuan menyakitkan kaum rasis. Sehari setelah kemenangan Presiden Trump, saat sedang bertugas sebagai kasir di perusahaan retail tempat ia bekerja, seorang pelanggan mengacungkan jari pada dia dan berkata, "Orang seperti dia ini seharusnya kembali ke negeri asalnya. Mereka cuma mencari uang di sini lantas membawa pulang uang ke negeri asalnya!”

Sebuah tuduhan kejam, apalagi ia imigran yang datang lewat jalur resmi, melalui pernikahan dengan warga AS. Pengalaman Dian tentu tak sebrutal apa yang dialami Srinivas Kuchibhotla. Pria keturunan India berusia 32 tahun ini tewas di tangan Adam Purinton, warga AS yang dengan sengit berteriak "keluar dari negara ini” sebelum mengarahkan senjata api ke arah Srinivas dan rekannya, Alok Masadani.

Ketika Presiden Trump mengeluarkan keputusan presiden yang melarang warga asal Irak, Suriah, Iran, Libia, Somalia, Sudan, dan Yaman memasuki AS, dibalik suka-cita pendukung Trump yang menganggap sikap keras itu perlu, protes keras pun datang bertubi-tubi. Kebijakan yang sesungguhnya menyasar teroris agar sulit masuk ke AS itu dianggap diskriminatif dan bernuansa rasisme. Pasalnya, tak hanya teroris asal tujuh negara itu yang tak bisa masuk, tapi juga pengungsi yang membutuhkan tempat baru untuk keluar dari wilayah konflik. Belum lagi ketujuh negara itu merupakan negara berbasis agama Islam, karenanya kebijakan itu pun dianggap tidak konstitusional karena diambilkan berdasarkan sentimen agama.

Meski begitu tetap banyak yang berhasrat bermigrasi ke AS. Dan tentu tak semuanya bisa dipenuhi dan diterima di AS. Ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Syarat dan ketentuan yang tidak dipenuhi menciptakan kategori imigran gelap. Bagi warga AS, imigran gelap dianggap beban dan kerap menjadi sumber kebencian. Tuduhan-tuduhan kejam pun dilontarkan. Mereka dianggap sebagai parasit yang mengisap hasil kerja keras warga AS dan berpotensi menjadi pelaku kriminal.

Donald Trump saat berkampanye tahun lalu menyebut bahwa imigran asal Meksiko yang datang ke AS kebanyakan pedagang narkoba dan pemerkosa, dan membunuh perekonomian AS. Pasalnya mereka mencuri pekerjaan kasar dari warga AS, plus tak membayar pajak penghasilan.

Nasib imigran asal Indonesia

Lantas, bagaimana dengan nasib imigran asal Indonesia? Sejauh ini tak pernah ada perhatian khusus dari pemerintah AS yang menyoroti perilaku imigran asal Indonesia, baik yang resmi maupun gelap. Mungkin karena jumlahnya tak sedahsyat imigran gelap asal Meksiko yang diperkirakan menembus angka 11,7 juta. Tapi menjadi imigran di AS, apalagi imigran gelap, tetap membuat hidup seperti terombang-ambing.

Begitu kuatnya kebencian pada imigran gelap, seorang warga AS asal Indonesia bahkan sampai menulis di dinding Facebooknya bahwa ia tak segan melaporkan imigran gelap asal negara asalnya,  Indonesia ke ICE (US Immigration and Customs Enforcement) agar bisa dideportasi.

Persoalan imigrasi di AS memang sangat kompleks, tak bisa disederhanakan begitu saja menjadi soal legal dan ilegal. Ia menyangkut juga soal kemanusiaan dan rasa keadilan. Banyak imigran gelap telah menetap di AS berdekade tanpa status resmi, bukan karena tak mau tapi karena tak ada jalan yang terbuka untuk mereka mengganti status gelap menjadi resmi. Tak semua imigran bisa atau mau berjodoh dengan warga AS, misalnya, untuk mengubah status imigrasi mereka.

Belum lagi persoalan mereka yang dibawa sejak usia balita ke AS. Mereka bukan warga negara AS tapi tak mengenal negeri asalnya, bahkan tak fasih berbahasa ibu. Bagi mereka, Amerika Serikat adalah negeri yang mereka cintai. Bila itu yang terjadi, adilkah bila sepotong kertas yang menyatakan status resmi menjadi satu-satunya penentu seseorang bisa tinggal di AS atau didepak?

Penulis:

Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.