1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Istirahatlah Hantu-hantu

25 September 2017

Tak pernah terbayangkan kecemasan menjadi pengungsi Rohingya. Juga tak pernah bermimpi ribuan orang bisa mengepung dan ingin menggeruduk “PKI” di Jakarta baru.baru ini. Inilah renungan Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/2kVwZ
Indonesien Unruhen in Jakarta
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni

Saya tak akan pernah bisa membayangkan diri menjadi pengungsi Rohingya. Itu pandangan saya. Sebanyak apa pun saya menyimak bacaan yang menceritakan kemalangan mereka, tak ada pengalaman membaca yang bisa menggantikan rasanya diusir dengan berondongan peluru, terbunuh kerabatnya sambil tak sanggup melakukan apa-apa, tak punya tempat atau bahkan negara untuk pulang.

Dan itu bukan bagian terburuknya. Hal yang lebih tak terbayangkan lagi: tidak ada yang tahu kapan hari-hari yang panjang tersebut akan berakhir.

Penulis:  Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Tetapi, saya juga tak pernah bermimpi saya akan mengalami peristiwa ganjil sebagaimana yang terjadi beberapa hari silam. Ketika dua ribu massa dari berbagai ormas mengepung dan ingin menggeruduk "PKI” di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta padahal yang diselenggarakan adalah festival seni, saya tanpa sengaja berada di dalamnya. Dan malam itu, saya, bersama banyak kawan lainnya, diminta untuk menjaga massa yang tertahan pagar dan polisi agar tak menyerbu masuk seandainya mereka berhasil menerabas.

Selagi kami membentuk pagar manusia, massa di hadapan menyorotkan senter ke wajah kami satu-persatu. Mereka mengambil gambar dan video kami. Dengan nada berlumuran kebencian, mereka tak henti-henti mengecam kami adalah PKI, mengatakan hidup kami tidak akan pernah aman lagi, dan kami tidak boleh berada di Indonesia. Ada pula yang meneriakkan bahwa darah kami halal.

Bagaimana kalau kebencian membuntuti sepanjang hidup? 

Drama ini berakhir selepas kami, yang terjebak sepanjang lima jam di dalam LBH Jakarta, dievakuasi polisi. Massa tak pernah berhasil menyentuh kami. Dan, karenanya pula, saya insaf, pengalaman tak lazim ini tidak bisa diperbandingkan dengan situasi yang dialami orang-orang Rohingya.

Akan tetapi, pengalaman ini memungkinkan saya mengandaikan pikiran-pikiran yang sangat kelam. Bagaimana kalau kebencian yang membakar massa tersebut membuntuti saya sepanjang hidup? Bagaimana bila ke mana pun saya melangkah, orang-orang merisak saya dan mengatakan saya tak layak hidup di negeri ini? Pemerintah tak memperbolehkan saya pergi ke mana pun atau melamar pekerjaan? Aparat menangkap saya untuk kejahatan yang tak pernah saya lakukan? Dan sewaktu-waktu kericuhan sosial pecah, kambing hitam paling pertama adalah saya?

Mirisnya, untuk beberapa kelompok insan, ini sama sekali bukan pengandaian. Ini terjadi kepada orang-orang Rohingya. Melongok ke masa silam negeri ini sendiri, ini terjadi kepada setiap orang yang gagal menepis tuduhan "PKI,” terlepas benar atau tidak ia terlibat di dalam partai tersebut.

Satu hal yang saya syukuri adalah dakwaan "PKI,” yang saya herankan dari mana datangnya, menghinggapi kami dalam malam yang sangat semrawut. Emosi membuat bukan hanya kerumunan gelap mata dan beringas. Saya juga tak yakin ada yang benar-benar bisa mengingat kami dalam segenap kekacauan tersebut. Di samping itu, tentu saja, saya juga merasa beruntung sudah berada di bawah rezim yang berbeda.

Pada tahun 1960-an, mereka yang menjadi korban dari tuduhan ini akan kontan kehilangan kehidupannya—dalam pengertian yang figuratif maupun harfiah. Jumlahnya pun sama sekali tidak bisa dikatakan sedikit. Dalam data Fact-Finding Commission KOTI, jumlah mereka yang dibui mencapai 106 ribu orang. KTP mereka dan anggota keluarganya dilabeli sehingga mereka tidak bisa melamar pekerjaan ke mana-mana. Mereka yang terbunuh dalam pembersihan besar-besaran? Berdasarkan data survei Kopkamtib pada tahun 1966, 250 ribu jiwa meninggal pada kurun ini.

Apakah mereka benar-benar anggota PKI?

Tidak. Pemain gamelan, yang alatnya kebetulan saja dipinjam untuk pentas partai tersebut, terbunuh. Sanak-saudara anggota PKI, yang tak berhubungan apa-apa, ditangkap. Orang-orang yang bermusuhan dengan kepala kampung yang kebetulan dipercaya menyusun daftar anggota PKI yang akan digiring entah ke mana? Mereka akan mendapati namanya dalam daftar tersebut.

Dan pengepungan, seperti yang terjadi di LBH, adalah hal yang sangat sering terjadi pada waktu itu. Satu desa akan dikepung sebelum rumah tersangka anggota PKI digeruduk untuk memastikan tidak ada yang bisa lari. Dan ketika para terduga ini terciduk, selanjutnya nasib mereka tergantung pada kebaikan hati massa dan algojo.

Persekusi orang-orang Rohingya berangkat dari logika gelap mata serupa. Setiap orang Rohingya dipukul rata sebagai ancaman bagi orang-orang Buddhis. Bahkan ketika para pejabat keamanan tak mempunyai bukti apa-apa untuk mengatakan ini, mereka menciptakannya. Para jurnalis yang datang untuk meliput para pengungsi Rohingya langsung disajikan dengan bukti-bukti rekaan bahwa selalu orang Rohingya yang pertama menimbulkan gara-gara. Namun, ketika perwakilan pemerintah menjelaskan bahwa pihak yang membakar kampung-kampung adalah orang Rohingya sendiri, seorang wartawan dari BBC menemukan bahwa foto tersebut direka.

Apa yang sudah acap kita dengar adalah orang-orang Rohingya ini tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Namun, yang lebih jarang kita dengar adalah mereka hanya boleh meninggalkan desanya dengan izin khusus, dan ini menyebabkan mereka tak bisa mendapatkan akses pendidikan serta kesehatan yang layak. Pada akhir 1990-an, mereka bahkan harus memperoleh izin untuk menikah. Pengeluaran izin membutuhkan bayaran serta pelicin yang tidak sedikit. Waktu yang dibutuhkan untuk keluarnya izin bahkan bisa bertahun-tahun.

Untuk apa sekelompok insan diperlakukan sedemikian tak berperasaan?

Pertanyaan yang selanjutnya mengemuka setelah menyimak kondisi ini mungkin, untuk apa sekelompok insan diperlakukan sedemikian tak berperasaan? Rohingya adalah hantu—suatu keberadaan spektral. Ketika semua bukti yang ada menunjuk mereka adalah etnis yang ringkih dan dipersekusi, perasaan terancam yang mengada-ngada melucuti akal sehat para pejabat maupun sebagian warga Myanmar dan menjadikan mereka monster yang tak nyata. Mereka adalah teror Islam bagi umat Buddha yang kian rawan. Tidak ada asas kemanusiaan yang perlu berlaku untuk apa yang tidak dianggap manusia yang sama rasa, sama rata.

Demikian juga dengan komunisme. Ketika ia sudah diblejeti habis-habisan dan yang tersisa hanyalah masa silam yang menyakitkan bagi para penyintas 1965, orang-orang masih membayangkannya sebagai momok yang siap menerkam dari kegelapan. Rasa iba atau penyesalan tidak perlu diecer kepada mereka yang pernah berkhianat dan masih siap bangkit kembali pada waktunya nanti.

Tetapi, karena monster yang nyata tak pernah ditemukan, akhirnya yang menjadi sasaran adalah mereka yang jauh dari bayang-bayang monster. Apa yang akhirnya terjadi adalah ia memantik persekusi kepada kelompok minoritas selagi menjadi menjadi amunisi untuk membunuh lawan politik atau merepresi kritik. Bukan tanpa alasan, dakwaan-dakwaan PKI berseliweran kencang setiap kali pemilu menjelang. Dan bukan tanpa alasan pula, ia dilekatkan kepada para aktivis yang harus dibungkam agar perusahaan tambang, semen, ataupun sawit setempat tak merugi.

Perlukah kita menerka mengapa Aung San Suu Kyi, terlepas dari reputasinya sebagai simbol Hak Asasi Manusia, tak mau bersuara membela Rohingya? Mengapa ia bahkan menyatakan bahwa krisis Rohingya sejatinya merupakan problem terorisme yang dilakoni kelompok Rohingya sendiri? Suu Kyi adalah politisi, dan ia tahu mengadvokasi Rohingya hanya akan menjadikan dirinya sasaran tembak musuh politiknya yang sangat banyak.

Pada suatu hari, ini semua perlu berhenti. Hantu-hantu perlu diistirahatkan agar yang hidup tak terganggu. Sayangnya, suatu hari ini adalah suatu hari yang belum bisa kita terka kapan.

Penulis:

Geger Riyanto (ap/vlz)

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.