1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Israel Tuntut Sumpah Setia dari Minoritas Arab

11 Oktober 2010

Kabinet Israel menyetujui RUU Imigrasi yang kontroversial. Dalam RUU itu tercantum, kaum pendatang wajib bersumpah setia kepada Israel sebagai "negara Yahudi dan demokratis".

https://p.dw.com/p/Pamt
Seorang warga Palestina melintas kawasan konstruksi pemukiman Yahudi di Har Homa, Yerusalem timur. RUU Imigrasi yang baru itu membidik terutama imigran etnis Arab.
Seorang warga Palestina melintas kawasan konstruksi pemukiman Yahudi di Har Homa, Yerusalem timur. RUU Imigrasi yang baru itu membidik terutama imigran etnis Arab.Foto: AP

Siapa pun yang nanti ingin menjadi warga negara Israel, ia harus mengucap sumpah setia. Dengan suara 22 berbanding delapan, kabinet Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memutuskan amandemen dalam undang-undang keimigrasian.

Nantinya kaum pendatang non-Yahudi harus mengikrarkan "loyalitasnya" kepada Israel sebagai sebuah negara "Yahudi dan demokratis." Selama ini kaum pendatang yang mengubah kewarganegaraannya, cuma wajib mengucap sumpah setia dalam tradisi sekuler, yakni kepada "negara Israel," tanpa embel-embel keagamaan.

Partai Buruh Menyebut RUU Imigrasi sebagai "Rasialis"

Kelima menteri dari Partai Buruh menolak untuk memberi dukungannya bagi rancangan perundangan yang kontroversial tersebut. Bahkan tiga menteri dari Partai Likud pimpinan Netanyahu sendiri membelot dari haluan partai. Kelompok yang menentang, menyebut Undang-undang loyalitas itu sebagai "rasialis". Terutama warga Arab di Israel menilainya sebagai diskriminasi, karena aturan tersebut hanya berlaku bagi warga non-Yahudi. Selain itu banyak pihak menilai amandemen tersebut bakal semakin meningkatkan ketegangan dengan warga Palestina yang memang sudah menegang sejak perundingan damai dimulai.

Menteri Sosial Isaac Herzog dari Partai Buruh mengungkapkan alasan dibalik penolakannya terhadap rancangan perundangan tersebut.

"Kami yakin hal itu tidak diperlukan. Bukanlah kepentingan negara Israel untuk melabeli sistemnya dengan sebuah logika ideologi tertentu. Undang-undang tersebut akan menghasilkan dampak sebaliknya tergadap reputasi Israel dan sikapnya sebagai sebuah negara yang demokratis," kata Herzog.

Baru saat-saat terakhir, Menteri Pertahanan Ehud Barak dan sekaligus Ketua Umum Partai Buruh mengubah pandangannya lantaran hujan kritik yang muncul dari barisan sendiri. Namun meski terang-terangan menentang rencana yang disokong oleh kubu nasionalis kanan itu, Barak tetap membebaskan para menterinya di kabinet untuk memihak.

Definisi Israel sebagai Negara Yahudi: "Inti Visi Zionisme"

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan di awal rapat kabinet, definisi Israel sebagai negara Yahudi dan demokratis adalah, begitu katanya, merupakan "inti dari visi Zionisme".

"Negara Israel adalah negara nasional bangsa Yahudi dan sebuah negara demokratis yang mengabdi kepada semua warganya. Yahudi atau non-Yahudi memiliki semua hak-haknya. Namun sayangnya ada pihak di dunia ini yang tidak hanya ingin mengotori hubungan yang unik antara bangsa Yahudi dan kampung jalannya, tapi juga hubungan yang unik antara bangsa Yahudi dengan negaranya," ujar Netanyahu.

Netanyahu kemudian menambahkan, tidak seorang pun berhak untuk mengajari demokrasi dan pencerahan kepada bangsa Israel. Menurutnya, tidak ada negara demokrasi lain di Timur Tengah dan tidak ada negara Yahudi lain di dunia. Netanyahu juga menuntut Presiden otonomi Palestina Mahmud Abbas untuk mengakui Israel sebagai sebuah "negara Yahudi dan demokratis", sebagai salah satu syarat perundingan damai.

Rancangan undang-undang yang masih harus mendapat persetujuan parlemen itu nantinya akan mempersulit warga Palestina yang ingin menikahi warga Arab Israel dan kemudian mengajukan permohonan kewarganegaraan. Sekitar 20 persen dari 7,6 juta penduduk Israel merupakan warga Arab.

"Ha'aretz": RUU Imigrasi Provokatif dan Diskriminatif

Harian "Ha'aretz" yang berhaluan liberal, dalam laporan utamanya secara gamblang menolak amandemen tersebut dengan dalih, setiap usaha untuk "mendefinisikan sebuah negara Yahudi dengan lebih rinci", akan mendapat keberatan dari sebagian besar penduduk Israel, karena istilah tersebut tidak memiliki definisi "umum dan mengikat." Dalam tajuknya, Ha'aretz menilai undang-undang tersebut sebagai "provokatif, diskriminatif dan mungkin bertentangan dengan konstitusi."

Belakangan, setelah mendapat hujan protes, Menteri Kehakiman Ya'akov Ne'eman yang mengusulkan amandemen tersebut, mengakui bahwa warga Yahudi pun harus ikut membuat sumpah kesetiaan.

Hingga saat ini, kebanyakan pengamat hanya bisa menduga niatan di balik terobosan baru dari PM Netanyahu. Harian konservatif Israel, "Yedioth Achronot" misalnya menulis, dengan amandemen tersebut Netanyahu ingin mendamaikan sayap kanan di koalisinya. Sasarannya adalah untuk mendapat dukungan seluas-luasnya bagi perpanjangan moratorium pemukiman Yahudi di wilayah Palestina.

Sementara itu Menteri Dalam Negeri Eli Yishai mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan mengajukan sebuah rancangan undang-undang untuk dapat mencopot kewarganegaraan seseorang jika terbukti tidak setia terhadap negara Israel.

Clemens Verenkotte/Rizki Nugraha

Editor: Luky Setyarini