1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Islam dan Masalah Kemiskinan di “Dunia Muslim”

14 Desember 2016

Semestinya para tokoh, pemerintah, partai atau ormas berbasis Muslim bahu-membahu memperjuangkan umat Islam. Khususnya dan rakyat Indonesia yang masih tertinggal di bidang ekonomi & pendidikan. Opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/2UEpK
Müllmenschen von Bantar Gebang Indonesien
Foto: DW

Salah satu problem mendasar umat Islam di dunia ini adalah kemiskinan. Fakta ini tidak bisa dipungkiri. Hanya segelintir negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim, yang cukup makmur dan maju dalam hal perekonomian dan industri. Itupun kebanyakan karena negara-negara ini (misalnya Brunei atau negara-negara di kawasan Arab Teluk) didukung oleh faktor sumber daya alam yang melimpah. Bukan oleh sumber daya manusianya.

Selebihnya, kebanyakan negara-negara dengan warga mayoritas Muslim rankingnya masih berada di bawah garis kemiskinan. Contoh nyata, lihat saja Pakistan, Sudan, Mesir, Bangladesh, Afganistan, Albania, Aljazair, Maroko, Mauritania, Chad, Azerbaijan, Sierra Leone, dlsb.

Sementara Indonesia, berdasarkan catatan dari Bank Dunia, meskipun dinilai telah mencapai pertumbuhan ekonomi impresif pasca krisis finansial pada pertengahan 1990-an serta masuk kategori "emerging middle-income country”, masalah kemiskinan masih menghantui negara kepulauan terbesar di dunia ini. Data Bank Dunia menunjukkan sekitar 28 juta penduduk masih berada dalam kategori  hidup miskin. Yang lebih mencemaskan, sekitar 40% dari warga Indonesia, kalau diterjemahkan dengan angka sekitar 100 juta orang berpotensi terjerembab dalam kemiskinan.   

Penulis:  Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: privat

Tentu saja kemiskinan merupakan produk atau akumulasi dari banyak faktor, tidak bisa dijelaskan hanya dari satu sudut pandang saja. Kemiskinan juga bukan "monopoli” umat Islam saja. Hal ini terjadi dimana-mana: dari Afrika Utara yang mayoritas Muslim sampai Amerika Selatan yang didominasi Kristen (Katolik). Kemiskinan juga menimpa sebagian besar umat manusia di planet bumi ini, baik yang beragama maupun tidak beragama. Penjelasan ini penting karena ada sebagian orang, termasuk para sarjana, baik di Barat maupun Timur, yang berasumsi bahwa kemiskinan merupakan "hak paten” kaum Muslim saja. 
 

Modernitas dalam perspektif Weber

Bagi sebagian sarjana Barat yang dipengaruhi teori-teori modernisasi sejak tahun 1950-an, umat Islam identik dengan kemunduran, keterbelakangan, dan kemiskinan. Kondisi ini menurut asumsi mereka dibentuk oleh "budaya” Islam dan masyarakat Muslim itu sendiri yang anti-kemajuan. Para sarjana ini sebagian dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber (1864–1920) yang menempatkan "dunia Timur” (termasuk China, India, dan Timur Tengah) sebagai dunia yang tidak bisa maju karena "watak kulturalnya” yang "unworldly,” Ini kontras dengan dunia Barat, khususnya negara-negara yang dipengaruhi tradisi Protestan yang sangat "worldly.”

Lebih lanjut Weber menjelaskan bahwa kemajuan ekonomi dan kemakmuran negara-negara Eropa Barat ini adalah produk dari "kapitalisme modern,” yang tumbuh karena adanya semacam "capitalist ethos.” Nah "etos kapitalis” ini muncul ke permukaan karena didorong oleh doktrin dan etika agama Protestantisme (khususnya Calvinism) yang menekankan pada aspek "worldliness” tadi. 

Sementara itu di "dunia Timur,” masih menurut Weber dalam beberapa karyanya seperti The Religion of China atau The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, kapitalisme modern yang merupakan akar kemajuan ekonomi tidak bisa tumbuh. Pasalnya menurut dia, di kawasan ini tidak ada agama yang "amenable to capitalist development” karena wataknya yang asketis, hirarkhis, dan unearthly. Karakteristik agama-agama Timur (seperti Islam, Budha, Hindu, Taoisme, Konghucu, Sinto, dlsb) inilah yang oleh Weber dipandang sebagai penghalang munculnya spirit kapitalisme modern di negara-negara non-Eropa.

Oleh karena watak agama, kultural, dan peradaban non-Eropa yang berbeda dengan Eropa inilah, maka "etika Protestan” dan "etos kapitalis” hanya menjadi pengalaman unik dan eksklusif Eropa (dan negara-negara yang didominasi Protestan seperti Amerika Serikat atau Australia) yang tidak pernah "bermigrasi” ke masyarakat non-Eropa (dan non-Protestant). Karena dipandang tidak akurat, tesis-tesis Weber ini dikritik oleh sejumlah ilmuwan sosial seperti Robert Bellah, Stanley Tambiah, dan Peter Berger.

Kombinasi dari problem kultural dan struktural

Meskipun teori-teori klasik Weber banyak mendapatkan kritik, tetapi bukan berarti tidak valid sama sekali. Banyak juga data empiris yang mendukung premis-premis yang dikemukakan Weber. Saya cenderung berpendapat, bahwa masalah kemiskinan yang melanda kawasan Islam dan kaum Muslim ini merupakan kombinasi dari "problem kultural” seperti yang diuraikan Weber dan "problem struktural” (misalnya menyangkut kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak adil, kebijakan pembangunan yang timpang, dominasi kelompok konglomerat, dsb) di masing-masing negara yang mayoritas berpenduduk Muslim.

Problem kemiskinan di Libya yang lama mengkuti sistem sosialis atau Yordania yang berbentuk monarkhi, tentu akan berbeda dengan sejumlah negara yang berbentuk republik seperti Mesir, Afganistan, Aljazair, Pakistan, Bangladesh, Iran, Iraq, Sudan, dlsb. Kita tidak bisa "menggebyah uyah” atau mengeneralisir soal akar-akar kemiskinan yang melanda negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim ini. 

Sejauh yang saya pahami, Islam sendiri tidak mengatur atau merekomendasikan sebuah sistem ekonomi tertentu. Tidak ada "juklak” atau "juknis” tentang sistem ekonomi. Islam hanya memuat tentang nilai (values) bukan mengajarkan sistem. Karena itu kita lihat negara-negara yang didominasi umat Islam memiliki sistem ekonomi yang beragam. Nilai-nilai yang ditekankan Islam, antara lain, adalah keadilan, egalitarianisme, pemerataan, dlsb. Ini misalnya tersirat dalam Al-Qur'an surat Al-Hasyr ayat tujuh dimana Allah SWT melarang terjadinya akumulasi kapital atau perputaran modal pada segelintir orang saja (konglomerat atau borjuis).

Kiai Masdar F. Mas'udi, cendekiawan NU, pernah mengulas masalah komitmen Islam pada nilai-nilai keadilan universal dan egalitarianisme ini yang menjadi "spirit” model perekonomian yang "Islami” dan "Qur'ani” dengan sangat apik dan bernas dalam buku klasiknya, Agama Keadilan. Saya merekomendasikan buku ini untuk dijadikan sebagai "landasan teoretik” bagi siapa saja yang ingin melihat perspektif Islam tentang eknomi, pembangunan, dan sistem-sistem sosial yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. 

Kita tahu di antara missi Nabi Muhammad SAW yang merupakan pewaris "Dinasti” Suku Quraisy yang didirikan Qushayi bin Kilab pada tahun 480 M, adalah untuk menyelamatkan rakyat kecil yang tertindas oleh gempuran sistem sosial-politik-ekonomi Arab yang diskriminatif kala itu. Pada zaman itu, sumber-sumber ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir kapitalis yang mempunyai modal (capital), sementara rakyat banyak tetap hidup dalam penderitaan. Di tengah kultur Arab yang arogan dan penuh dengan ketidakadilan sosial, penindasan terhadap kaum lemah, pengekangan terhadap aspirasi masyarakat banyak, diskriminasi suku dan gender, pemupukan kapital, pemusatan kekuasaan dan lain-lain yang semuanya mengarah pada struktur sosio-ekonomi bangsa Arab yang menindas kala itu, Nabi Muhammad hadir dengan sejumlah gagasan cemerlang, egaliter, dan reformatif.

Kehadiran Nabi Muhammad dengan missi Islam-nya adalah untuk membebaskan manusia. Meminjam istilah Al-Qur'an, dari "kegelapan” (zulumat) menuju "cahaya” (nur), yakni dari sistem sosial-politik-ekonomi yang diskriminatif dan menindas menuju sebuah sistem yang berkeadilan sosial. Inilah, antara lain, yang menjadi missi Islam sebagaimana tersirat dalam QS al-A'raf: 157 dan QS al-Hasyr: 7. Karena itulah jika ada kelompok umat Islam di dunia modern ini hendak membangun "sistem kelas” yang hierarkhis atau sistem ekonomi yang tidak adil, maka berlawanan dengan roh atau spirit ajaran Islam ini. 

Mengembangkan konsep jihad kontemporer

Jika kaum Muslim mau mengembangkan konsep jihad, seharusnya mereka bergerak dalam bingkai seperti yang saya jelaskan di bagian awal tulisan ini. Dengan kata lain, jihad dalam konteks kontemporer harus dipahami secara lebih luas, konstruktif, dan kontekstual untuk mengatasi problem-problem mendasar umat Islam dewasa ini mulai dari kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan seterusnya.

Apa yang dilakukan oleh peraih nobel perdamaian tahun 2006, Muhammad Yunus dari Bangladesh, yang telah membantu mengatasi masalah kemiskinan dan problem ekonomi jutaan rakyat Bangladesh dan negara-negara lain melalui Grameen Bank-nya adalah salah satu bentuk jihad yang perlu diteladani oleh tokoh dan kaum Muslim lain. Tokoh Muslim yang dijuluki "Banker to the Poor” ini percaya, bahwa pengentaskan kemiskinan adalah salah satu cara efektif untuk menciptakan perdamaian di muka bumi.

Demikian juga apa yang dilakukan oleh Abdul Sattar Edhi melalui "Edhi Foundation” di Pakistan. Yayasannya membantu mengentaskan masalah kemiskinan dan problem keumatan lain baik di Pakistan maupun di negara-negara lain. Ini adalah contoh lain dari implementasi jihad yang positif dan membangun. Umat Islam Indonesia seharusnya mencontoh tokoh-tokoh seperti mereka. Bukan tokoh-tokoh Muslim yang hobi mengibarkan perang dan permusuhan kepada umat atau kelompok yang berbeda pandangan politik dan keagamaan. 

Sudah semestinya para tokoh, pemerintah, partai atau ormas berbasis Muslim khususnya, untuk berkerja sama dan bahu-membahu memperjuangkan perbaikan kondisi umat Islam khususnya dan rakyat Indonesia pada umumya. Untuk bersama-sama mengentaskan mereka yang masih tertinggal dan terbelakang di bidang ekonomi maupun pendidikan. Jangan sebaliknya, malah berkelahi sendiri-sendiri dengan mengatasnamakan kaum Muslim tertentu, ideologi tertentu, mazhab tertentu, kelompok Islam tertentu, dlsb. Semangat "aliranisasi” harus diminimalisir untuk kemudian fokus pada kepentingan dan kebutuhan rakyat secara luas. Ingat bahwa kesejahteraan rakyat akan berdampak positif dan menjadi salah satu "ingredient” (ramuan, rempah) bagi perdamaian, keamanan, dan stabilitas sosial di masyarakat, bangsa dan negara.

Penulis:

Sumanto al Qurtuby

Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University serta telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016). 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.