1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiAsia

Invasi Rusia ke Ukraina Pengaruhi Saham Asia

24 Februari 2022

Konflik antara Rusia dan Ukraina mempengaruhi pasar Asia, seperti menurunnya indeks Nikkei Jepang, HSI Hong Kong, hingga Shanghai Composite China. Sebaliknya, dolar, emas, dan harga minyak meroket tajam.

https://p.dw.com/p/47Vtt
Foto ilustrasi pekerja mengawasi monitor di ruang transaksi valuta asing kantor pusat Bank KEB Hana di Seoul, Korea Selatan
Ekonomi Asia menghadapi risiko yang lebih rendah daripada EropaFoto: Ahn Young-joon/AP Photo/picture alliance

Pasar saham Asia jatuh dan harga minyak melonjak hampir $100 per barel pada Kamis (24/02), setelah Presiden Rusia Vladimir Putin melancarkan operasi militer di Ukraina. Benchmark pasar di Tokyo dan Seoul turun 2%, sedangkan Hong Kong dan Sydney kehilangan lebih dari 3%.

"Reli bantuan dengan cepat berbalik arah,” kata Jeffrey Halley dari Oanda dalam sebuah laporan "ekuitas menurun di Asia.”

Indeks Nikkei 225 (N225) Jepang turun 2,2% menjadi 25.855,04, Hang Seng (HSI) Hong Kong turun 3,1% menjadi 22.925,60, dan Shanghai Composite China bergerak turun 0,9% pada 3.458,12.

Ekonomi Asia menghadapi risiko yang lebih rendah daripada Eropa, tetapi mereka yang membutuhkan minyak impor mungkin akan dikenai harga yang lebih tinggi jika pasokan dari Rusia, produsen terbesar ketiga, terganggu, kata analis.

Harga minyak melonjak saat Rusia invasi Ukraina

Saham global dan imbal hasil obligasi Amerika Serikat turun pada hari Kamis (24/02). Sementara itu, dolar, emas, dan harga minyak meroket tajam di saat pasukan Rusia menembakkan rudal ke beberapa kota di Ukraina dan mendaratkan pasukan di pantai selatannya.

Euro Stoxx 50 dan DAX Jerman berjangka turun lebih dari 3,5 persen di awal transaksi, sementara FTSE berjangka merosot 2 persen lebih rendah.

Bursa Moskow mengumumkan penangguhan semua perdagangan pada hari ini (24/02).

"Pasar selalu mencoba untuk menilai apakah (Rusia) akan berhenti di Donbass, dan terlihat cukup jelas bahwa mereka bergerak menuju Kiev, yang selalu menjadi salah satu skenario terburuk, karena kami sekarang memiliki malam yang panjang di depan kami untuk mencoba memahami betapa buruknya situasi ini dan sanksi apa yang diberikan, karena harus ada putaran sanksi baru terhadap Putin dan pemerintah Rusia," kata Chris Weston, Kepala Penelitian di Pepperstone.

"Di situlah kasus terburuk atau skenario "bear case" untuk pasar, dan itulah yang kami lihat. Tidak ada pembeli di sini untuk mengambil risiko, dan ada banyak penjual di luar sana, jadi pasar ini terpukul sangat keras," tambahnya.

Arus perdagangan Rusia bergeser ke Cina

Amerika Serikat siap untuk melepaskan serangkaian sanksi yang lebih luas terhadap Rusia. Namun, sejauh ini AS dan sekutunya belum pernah mencoba untuk memotong ekonomi senilai $1,5 triliun dari perdagangan global, dan tidak jelas seberapa besar tekanan yang bahkan dapat diberikan sanksi Barat terhadap Moskow.

Tinjauan terhadap data perdagangan Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa sejak sanksi yang lebih rendah dijatuhkan pada tahun 2014 setelah Rusia mencaplok Krimea, Cina hadir sebagai tujuan ekspor terbesarnya.

Sanksi baru dapat mendorong Moskow untuk mencoba memperluas hubungan perdagangan dengan Beijing dalam upaya untuk menghindari pembatasan, kata Harry Broadman, mantan negosiator perdagangan AS dan pejabat Bank Dunia.

"Masalah sanksi, terutama yang melibatkan produsen minyak, yaitu Rusia, akan menjadi kebocoran dalam sistem,” kata Broadman. "Cina mungkin berkata, 'Kami akan membeli minyak di pasar terbuka dan jika itu minyak Rusia, biarlah.'”

Rusia menyumbang 1,9 persen dari perdagangan global pada 2020, turun dari 2,8 persen pada 2013, menurut data Bank Dunia. PDB 2020 berada di peringkat ke-11 secara global, antara Brasil dan Korea Selatan.

Tinjauan terhadap data perdagangan Rusia di database World International Trade Solution Bank Dunia menunjukkan bahwa ketergantungan Rusia pada perdagangan global telah menurun selama 20 tahun terakhir.

ha/yf (AP, Reuters)