1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia Teladan Demokrasi Asia Tenggara

27 Juli 2009

Demokrasi di Indonesia kini menjadi teladan bagi kawasan Asia Tenggara. Juga Indonesia dapat menyatakan diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

https://p.dw.com/p/IyBp


Hasil pemilu di Indonesia juga menjadi tema sorotan dalam tajuk harian Eropa. Sementara situasi aktual di Afghanistan tetap menjadi tema komentar sejumlah harian internasional.

Harian Belanda De Volkskrant yang terbit di Amsterdam dalam tajuknya berkomentar : Di Asia Tenggara dimana demokrasi sekarang ini sedang mengalami kemunduran, dengan melihat situasi di Thailand atau Malaysia, Indonesia dapat memainkan peranan sebagai teladan. Tapi hal itu tidak berarti Indonesia sudah berada di luar ancaman bahaya. Bagi presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih banyak hal yang harus dikerjakan. Serangan bom terbaru di Jakarta menunjukkan, bahwa kelompok teroris Islam masih memiliki pendukung. Yang juga harus menjadi bahan pertimbangan adalah sejumlah pesantren radikal, yang sejauh ini nyaris tidak mendapat tindakan apapun dari pemerintah. Selain itu, walaupun ekonomi Indonesia menunjukan kondisi jauh lebih baik dibanding negara di kawasan itu, namun masih terdapat 15 persen warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Sementara Kompas Cybermedia yang terbit di Jakarta menulis : Tantangan yang dihadapi Indonesia lima tahun ke depan masih amat besar. Karena itu kabinet mendatang yang kembali akan dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus ramping dan dibentuk berdasarkan pertimbangan profesional serta sesedikit mungkin memakai sistem penjatahan dari partai politik pendukung. Kebijakan semacam ini, juga diperlukan untuk memperkuat sistem presidensial. Selain itu tantangan ekonomi dan keuangan dalam lima tahun mendatang, tidak dapat dihadapi dengan berdasarkan pada pertimbangan politik serta populisme. Tantangan berikutnya adalah membangun pemerintahan yang lebih bersih. Juga jangan dilupakan upaya memperkuat pertahanan negara, dengan memperbaiki alat utama sistem persenjataan. Semua tantangan hanya dapat dijawab, jika kabinet diisi orang-orang profesional.

Situasi aktual di Afghanistan tetap menjadi tema komentar sejumlah harian internasional. Membangun sebuah negara Afghanistan yang berfungsi amat menentukan untuk menciptakan stabilitas.

Harian liberal Swedia Dagens Nyheter yang terbit di Stockholm berkomentar :

Meninggalkan Afghanistan, sebelum negara itu memiliki pasukan militer yang dapat menguasai teritorialnya sendiri, akan berarti kegagalan dalam politik keamanan. Sementara ini, kepercayaan warga di Afghanistan terhadap pasukan asing sebagian besar sudah luntur, karena mereka tidak menepati janjinya. Pasukan NATO memang dapat membebaskan sejumlah kawasan dari kekuasaan Taliban. Akan tetapi sesudah itu mereka menarik kembali pasukannya. Taliban tahu persis, tidak adanya hukum dan ketertiban adalah prasyarat bagi eksistensinya. Untuk menciptakan stabilitas, Afghanistan memerlukan aparat negara yang berfungsi.

Dan terakhir harian Jerman Junge Welt yang terbit di Berlin mengomentari perubahan tugas pasukan Jerman di Afghanistan menjadi satuan tempur.

Militer Jerman yang sejak didirikannya dilatih untuk melakukan agressi dan serangan, melanjutkan tradisi pasukan perang imperialistis dengan potensi besar. Dalam kasus Afghanistan, dalam waktu semalam terorisme dari sebuah front peperangan diubah menjadi musuh secara militer. Dengan itu dimulai sebuah perang yang melanggar hukum internasional, dimana sasaran maupun metodenya terus ditutup-tutupi. Kampanye pemilu dari partai Kristen CDU dan partai liberal FDP, ibaratnya ping-pong untuk mengalihkan perhatian rakyat, dari pertanyaan untuk apa pengerahan tentara Jerman itu? Jawabannya akan muncul dari misi perang yang sedang berjalan dan yang akan datang.



AS/dpa/afpd/Kompas-Cybermedia

Editor : Asril Ridwan