1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia: Sebelas Tahun setelah 11 September

11 September 2012

Apa yang kita pelajari dari sebelas tahun pasca peristiwa 11 September? Indonesia masih berjuang untuk memenangkan opini publik terkait terorisme.

https://p.dw.com/p/166mX
Foto: AP

EDITORIAL

Indonesia: Sebelas Tahun setelah 11 September

Tragedi 11 September telah mengubah wajah dunia, termasuk Indonesia. Satu tahun setelah menara kembar di New York runtuh, aksi bom bunuh diri meluluhlantakkan dua kafe di Bali. Sejak itu, Indonesia gencar mengejar para penebar teror.

Indonesia bisa dibilang sukses. Hampir semua tokoh gerakan ini berhasil ditangkap hidup-hidup atau tewas dalam penggerebekan. Untuk soal ini, kita patut memberikan apresiasi kepada polisi. Meski tentu saja penghargaan itu harus kita tempatkan dalam sikap kritis.

Perang melawan terorisme tak bisa hanya dilakukan oleh polisi. Dalam perspektif strategis, perang melawan ideologi kekerasan ini justru terjadi pada level masyarakat.

Mari kita lihat bagaimana opini publik atas para teroris.

Survey dunia Pew Research Centre tahun  2011 menunjukkan bahwa 26 persen orang Indonesia percaya kepada Osama bin Laden. Polling yang sama menunjukkan bahwa 22 persen suka dengan Al Qaeda.

Sebagai catatan: dukungan terhadap Osama dan Al Qaeda di Indonesia, lebih tinggi dibanding negara berpenduduk muslim lain seperti Mesir, Yordania, Turki atau Lebanon.

Angka-angka tadi mengkonfirmasi survey nasional tahun 2006 yang menunjukkan bahwa ada lebih dari sebelas persen, atau sekitar enambelas setengah juta orang Indonesia, yang mendukung aksi bom bunuh diri dengan sasaran sipil.

Meski angka dukungan terhadap terorisme dari tahun ke tahun cenderung menurun, tapi angka-angka ini adalah sebuah peringatan bagi kita. Suka atau mendukung, adalah satu langkah untuk melibatkan diri dengan gerakan teror.

Sebelas tahun setelah tragedi 11 September memberi kita catatan: bahwa masih banyak yang harus dilakukan. Kita tidak boleh lelah untuk meyakinkan bahwa kekerasan atas nama apapun termasuk agama, tidak pernah bisa dibenarkan.

Andy Budiman

Editor: Edith Koesoemawiria