1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia dan Perubahan Iklim

Carissa Paramita19 Juni 2013

Perubahan iklim belum menjadi fokus partai politik di Indonesia. Selain komitmen pemerintah, belum ada UU khusus. Tapi pendekatan dalam mengatasi perubahan iklim juga tidak harus selalu top-down.

https://p.dw.com/p/18shC
Bildbeschreibung: Titel: Participants of Summer Talk PPI Bonn Schlagworte: Eddy Pratomo, PPI Bonn, Ari Mochammad, Farhan Helmy, Perubahan Iklim, Indonesia Wer hat das Bild gemacht/Fotograf?: Carissa Paramita Wann wurde das Bild gemacht?: 08.06.2013 Wo wurde das Bild aufgenommen?: ZEF Bonn Bildbeschreibung: Bei welcher Gelegenheit / in welcher Situation wurde das Bild aufgenommen? Wer oder was ist auf dem Bild zu sehen? Summer Talk PPI Bonn attended by Indonesian ambassador for Germany, panelists from National Council for Climate Change, and Indonesian students in Bonn Rechteeinräumung: Hiermit räume ich der Deutschen Welle das Recht ein, das/die von mir bereitgestellte/n Bild/er zeitlich, räumlich und inhaltlich unbeschränkt zu nutzen. Ich versichere, dass ich das/die Bild/er selbst gemacht habe und dass ich die hier übertragenen Rechte nicht bereits einem Dritten zur exklusiven Nutzung eingeräumt habe. Sofern ich das hiermit zugesandte Bild nicht selbst gemacht, sondern von einem Dritten, dem o.g. Fotografen, zugeliefert bekommen habe, versichere ich, dass mir dieser Dritte die zeitlich, räumlich und inhaltlich unbeschränkten Nutzung auf der Internet Plattform DW-WORLD.DE übertragen hat und mir schriftlich versichert hat, dass er das/die Bild/er selbst gemacht und die Rechte hieran nicht bereits Dritten zur exklusiven Nutzung eingeräumt hat. Vollständiger Name des Zulieferers: Carissa Paramita Postanschrift inkl. Land: Kurt-Schumacher-Str. 3, D-53113 Bonn Mail-Adresse: Carissa.Paramita@dw.de
PPI Bonn Teilnehmer Sommer TalkFoto: DW/C.Paramita

Para pembuat kebijakan selayaknya memegang peranan utama dalam merespon tantangan perubahan iklim. Tidak hanya dengan memberlakukan aturan nasional. Tapi juga memonitor implementasinya melalui pengawasan pemerintah. Karena justru UU di tingkat domestik dan bukan perjanjian global yang menjadi cara jitu memerangi perubahan iklim.

Saat ini perundingan di tingkat dunia sudah sampai pada komitmen 194 negara untuk mencapai kesepakatan global tahun 2015, yang akan mulai diberlakukan tahun 2020. Selain juga mengidentifikasi cara untuk merespon dengan segera proses perubahan iklim, sehingga kenaikan suhu global dapat ditahan di bawah rata-rata 2 derajat Celsius.

Eddy Pratomo, Duta Besar Indonesia untuk Jerman yang juga berkapasitas sebagai ketua delegasi Indonesia untuk pertemuan UNFCCC di Bonn antara 3-14 Juni 2013, membeberkan lamanya proses negosiasi baik pada tingkat multilateral, bilateral, maupun domestik.

“Di tingkat internasional perundingannya alot. Contohnya Singapura dan Indonesia meski letak geografisnya berdekatan namun posisinya menyangkut perubahan iklim tidak sama. Dalam bernegosiasi dengan wakil rakyat juga butuh kesabaran, sehingga apa yang tercapai di tingkat internasional selaras dengan nasional,” jelas dia.

Eddy Pratomo membuka ajang diskusi pelajar Indonesia di Bonn dengan delegasi Indonesia untuk pertemuan UNFCCC
Eddy Pratomo membuka ajang diskusi pelajar Indonesia di Bonn dengan delegasi Indonesia untuk pertemuan UNFCCCFoto: DW/C.Paramita

Penjelasan ini ia lontarkan menanggapi pertanyaan Sukri Tamma, kandidat PhD di Universitas Bonn, saat Summer Talk PPI Bonn yang berlangsung hari Sabtu (08/06/13) di gedung ZEF.

“Tahu sendiri wakil rakyat kita. Saya tidak mau berbicara negatif, tapi mereka terkadang tidak paham substansi. Isu perubahan iklim memang booming di tingkat masyarakat, tapi tetap tidak menjadi minat partai politik,” Pratomo menambahkan.

Posisi Indonesia terkait perubahan iklim

Indonesia menjadi salah satu negara berkembang pertama yang secara sukarela menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dengan dana sendiri dan hingga 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020 menngacu pada emisi tahun tersebut jika tidak dilakukan perubahan apapun.

“Tapi kelemahannya, Indonesia belum memiliki satu legislasi spesifik tentang perubahan iklim,” ungkap Tazwin Hanif dari Direktorat Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Menurut studi GLOBE, sebuah kelompok pembuat kebijakan dari seluruh dunia, jumlah undang-undang terkait lingkungan di tingkat domestik meningkat dari 10 per tahun pada awal 2000-an menjadi rata-rata 20 per tahunnya pada tahun 2012. Meksiko telah memberlakukan UU sebagai panduan segala kebijakan terkait perubahan iklim. Korea Selatan mempunyai legislasi yang mengatur skema perdagangan emisi pada tahun 2015.

Pemerintah Jerman mengantongi Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim yang mengatur tanggung jawab Jerman di tingkat internasional, inisiatif pemerintah untuk membangun basis pengetahuan dan menyediakan informasi, penyediaan insentif dan kerangka legal bagi proyek adaptasi, serta konstruksi berkelanjutan bagi gedung-gedung pemerintah.

Saat ini Indonesia hanya memiliki UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 terkait Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Rencana ini mencakup 70 program yang terdistribusi di antara sejumlah sektor seperti hutan dan lahan gambut, limbah, pertanian, industri, energi dan transportasi.

[No title]

Dana dan pendidikan

Mengapa harus ada undang-undang khusus? Tentu implikasinya ke anggaran. Menurut Farhan Helmy, sekretaris kelompok kerja mitigasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), “Indonesia ibaratnya berkapasitas prosesor Pentium 4. Sedangkan negara lain sudah lebih canggih. Cara menjembataninya adalah melalui efisiensi penggunaan dana. Masih ada 20% anggaran pendidikan yang tidak dimanfaatkan dengan baik.”

Di Jerman, sektor pendidikan juga ikut dibidik terkait sosialisasi perubahan iklim. Badan Lingkungan Federal Jerman (Umweltbundesamt) menerbitkan buku “Pia, Alex und das Klimaprojekt – Eine abenteuerliche Entdeckungsreise” untuk anak-anak di atas usia 8 tahun. Buku ini menjelaskan arti pemanasan global dengan cara yang menarik, gampang dimengerti dan menghibur. Juga dijelaskan bagaimana semua orang dapat berkontribusi untuk mengatasi fenomena itu. Mulai dari menghemat listrik, mendaur ulang, hingga lebih sering bersepeda.

“Tapi memang tidak harus selalu top-down. Sebagai contoh, seorang arsitek dapat bereksperimen dengan tata kota, dematerialisasi, atau dekarbonisasi. Kalau sudah ada contoh, nanti akan menggelinding,” lanjut Helmy. “Jadinya bisa membuka lapangan kerja baru melalui inovasi.”

Pengalaman Jerman menunjukkan bahwa kebijakan mengurangi emisi karbon dapat membantu memodernisasi ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Kementerian Ekonomi dan Teknologi Jerman menyebut ‘ekonomi hijau' menciptakan 2 juta pekerjaan baru dalam beberapa dekade terakhir. Dilaporkan kini sektor ekonomi hijau mempekerjakan lebih banyak orang ketimbang industri otomotif Jerman.

Dua panelis pada Summer Talk PPI Bonn Juni 2013: Ari Mochammad (kiri), Farhan Helmy (kanan)
Dua panelis pada Summer Talk PPI Bonn Juni 2013: Ari Mochammad (kiri), Farhan Helmy (kanan)Foto: DW/C.Paramita

Mengapa Indonesia butuh semua ini?

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kajian IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) meramalkan Indonesia akan mengalami kenaikan suhu 1,8 sampai 4 derajat Celsius pada tahun 2050. IPCC menyatakan bahwa peningkatan suhu global dapat meningkatkan tinggi air laut antara 0,18 hingga 0,59 meter sekitar tahun 2100 dibandingkan tahun 1980-1999.

Hasil analisa DNPI yang dilakukan dengan skenario kenaikan 50 cm tinggi muka air laut, maka Indonesia berpotensi kehilangan lahan pertanian  seluas 322.091 hektar atau 4,67%. Lebih lanjut, ada sekitar 40 juta warga Indonesia yang bermukim dalam jarak 10 m dari garis pesisir yang terancam perubahan naiknya permukaan air laut.

Selain itu hasil riset Bank Dunia menunjukkan Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan 2-3 persen per tahun yang meningkatkan risiko banjir secara signifikan.

Belum lagi Indonesia termasuk dalam Lingkaran Api Pasifik, yakni wilayah rawan gempa bumi dan letusan gunung berapi. Dari segi geografis dan geologis, Indonesia memiliki tingkat kerentanan alam yang tinggi.

Namun Indonesia juga rentan dari segi sosiologis serta politis. “Indonesia memiliki keterbatasan dalam hal akses pendanaan, akses teknologi, dan kemampuan terkait pembangunan kapasitas untuk adaptasi. Padahal, isu perubahan iklim selalu berkaitan dengan ketiga hal tersebut,” ucap Ari Mochammad, sekretaris kelompok kerja adaptasi DNPI.

“Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya penyesuaian sistem sosial, sistem alam, dan sistem tata kelola pemerintahan dalam merespon dampak perubahan iklim. Adaptasi menyelamatkan sasaran pembangunan agar tidak gagal oleh dampak perubahan iklim. Oleh sebab itu, isu adaptasi perubahan iklim juga harus dapat diadopsi pada tingkat daerah,” tegasnya.

Diskusi berlangsung santai dan dua arah. Ketua PPI Bonn Sigit Prastowo (paling kiri) memberikan buah tangan kepada para panelis
Diskusi berlangsung santai dan dua arah. Ketua PPI Bonn Sigit Prastowo (paling kiri) memberikan buah tangan kepada para panelisFoto: DW/C.Paramita

Berkaca ke pengalaman Jerman

Pemerintah Jerman berkomitmen mengurangi emisi karbon sedikitnya 20 persen pada tahun 2020, dengan kontribusi minimum 20 persen pasokan listrik dari sumber energi terbarukan. Jerman sudah berinvestasi besar-besaran untuk pembangkit listrik tenaga surya dan ladang angin, serta teknologi inovatif penangkapan dan pemerangkapan karbon. Semua pembangkit listrik tenaga nuklir juga rencananya dinonaktifkan tahun 2022.

Namun dorongan inisiatif mengatasi perubahan iklim turut datang dari berbagai sendi negara. Tahun 2013 parlemen negara bagian Nordrhein-Westfalen menyetujui UU perlindungan iklim yang disodorkan pemerintahan koalisi yang terdiri dari Partai Sosial Demokratis (SPD) dan partai berhaluan sosialis-progresif Bündnis 90/Die Grünen.

Undang-undang serupa juga diadopsi pemerintah negara bagian Baden-Württemberg. Parlemen negara bagian di baratdaya Jerman ini rencananya membahas persetujuan UU tersebut pertengahan tahun 2013. Sebagai tambahan, negara bagian ini juga tengah menyusun “Konsep Perlindungan Iklim dan Energi Terpadu” menyusul partisipasi sukarela dari masyarakat. Konsep itu merinci tindakan yang akan diambil pada sektor transportasi, pertanian, industri dan rumah tangga menyangkut penghematan serta efisiensi energi.

Harapannya bagi Indonesia, parlemen yang akan terpilih tahun 2014 mendatang dapat lebih proaktif dan pemerintahan baru nantinya melanjutkan inisiatif yang telah digulirkan pemerintahan sebelumnya. Karena kalau terlambat bertindak, menurut perhitungan PBB biaya perubahan iklim nantinya akan melampaui biaya penurunan emisi sebesar 400%.