1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

HUT 72 TNI: Ketika Tentara Mencari Tahta

5 Oktober 2017

Presiden Joko Widodo memperingatkan TNI agar menjauhi kancah politik praktis dan menjunjung kesetiaan pada otoritas sipil. Peringatan tersebut dilayangkan ketika Panglima Gatot Nurmantyo mempersoalkan peran pasif TNI

https://p.dw.com/p/2lFSu
Indonesien Generalstabchef Gatot Nurmantyo und Präsident Joko Widodo
Foto: Reuters/Beawiharta

Bukan kebanggan sejarah, malah polemik seputar kesetiaan prajurit yang mendominasi perayaan HUT ke-72 Tentara Nasional Indonesia. Dalam upacara di Cilegon, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti TNI agar menjunjung tinggi profesionalitas dan menjauhi "kancah politik praktis."

Peringatan tersebut disampaikan presiden di tengah kisruh soal hak politik TNI yang didengungkan Panglima Gatot Nurmantyo. "Kesetiaan berarti memperjuangkan kepentingan rakyat dan kesetiaan kepada Pemerintah yang sah," ujarnya. "TNI adalah milik nasional yang tidak dikotak-kotakkan kepentingan politik yang sempit dan kancah politik praktis."

Seakan gayung bersambut, Nurmantyo dalam pidatonya menegaskan sikap TNI "yang akan setia dan menjunjung tinggi sumpah prajuit, serta taat kepada atasan yaitu Presiden RI yang dipilih secara sah sesuai konstitusi," ucapnya yang disambut dengan anggukan oleh Jokowi.

Petualangan politik Nurmantyo belakangan menjadi bumerang setelah sejumlah tokoh mengritik mantan Pangkostrad itu lantaran dianggap gagal menghadirkan kestabilan. Mantan Panglima TNI, Jendral Purn. Moeldoko misalnya menilai Nurmantyo seharusnya menjaga proesionalitas sebagai prajurit. "Kalau semua prajurit menuju ke sana maka tidak sempat lagi mikir masalah politik," ujarnya seperti dilansir CNN Indonesia.

Selama lebih dari tiga dekade TNI menikmati perannya sebagai pilar kekuasaan orde baru. Tidak lain adalah Jendral AH Nasution yang membumikan doktrin Dwifungsi TNI yang mencabut peran militer sebagai alat sipil dan menempatkannya sebagai "suatu kekuatan sosial," kata penyintas Gerakan 30 September itu pada 1958.

Keistimewaan tersebut berakhir seiring reformasi yang menanggalkan hak berpolitik TNI dan menempatkan tentara di bawah otoritas sipil. Namun Nurmantyo beranggapan prajurit "bisa kembali berpolitik," suatu saat nanti, "jika masyarakat sudah siap," katanya belum lama ini.

Pemerintah buru-buru meralat pernyataan panglima. "Tidak ada upaya mengembalikan supremasi militer. Itu sudah selesai sejak saya menjadi Panglima ABRI waktu itu," kata Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Wiranto pekan lalu.

Meski Nurmantyo berulangkali membantah dirinya terlibat politik praktis, ketua Setara Institute, Hendardi, menilai sepak terjang panglima bisa dikategorikan sebagai manuver politik karena "memanfaatkan jabatan untuk memetik keuntungan politik elektoral," tulisnya dalam sebuah siaran pers.

rzn/ap (antara, cnnindonesia, kompas, tempo, beritasatu)