1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Horror Perang di Mata Anak-anak Suriah

30 November 2013

Anak-anak pengungsi Suriah adalah pihak yang paling menderita akibat kekejian perang yang merobek negeri itu, demikian peringatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam laporan berisi kesaksian anak-anak korban perang.

https://p.dw.com/p/1AQYE
Foto: picture-alliance/dpa/Vassil Donev

“Tak mungkin bisa dilupakan. Ini seperti ada orang yang menikam saya dengan pisau ketika saya sadar,” kata Taha, 15 tahun, yang melihat tujuh mayat di dekat rumahnya di Suriah, kepada badan pengungsi PBB, UNHCR.

Ia dan puluhan pengungsi anak-anak lainnya di Yordania dan Libanon yang diwawancara oleh UNHCR, menceritakan trauma yang mereka hadapi sebagai pengungsi muda yang melarikan diri dari konflik yang telah menewaskan lebih dari 120.000 jiwa tersebut.

“Adalah penting bahwa wajah kemanusiaan dari krisis pengungsi ini tidak akan terlupakan,” kata Volker Turk, kepala perlindungan anak UNHCR mengatakan kepada para wartawan di Jenewa.

”Dan jika anda lihat apa yang dihadapi anak-anak ini, mereka menggambarkan dengan sangat kuat tentang keseluruhan krisis ini,” kata dia.

Gambaran mengerikan

Anak-anak termasuk diantara setengah dari sekitar lebih dari 2,2 juta warga Suriah yang melarikan diri dari tanah air mereka, demikian menurut data pengungsi PBB.

Sementara negara-negara tetangga memperkirakan sekitar 3 juta orang Suriah telah meninggalkan tanah air mereka yang dilanda perang, yang artinya sekitar 1,5 juta anak-anak Suriah kini hidup sebagai pengungsi.

“Melihat kembali apa yang terjadi 20 tahun terakhir, krisis pengungsi Suriah bagi kami tidak paralel dengan krisis Rwanda,” kata Turk, mengacu kepada genosida tahun 1994 di negara Afrika tersebut.

Ia menunjuk bahwa anak-anak itu mewakili setengah dari 6,5 juta orang yang dipaksa meninggalkan rumah mereka karena konflik, tapi masih berada di dalam wilayah Suriah.

Dalam laporan itu, anak-anak menggambarkan lewat kata-kata dan gambar kengerian yang mereka saksikan dan gejolak yang terjadi.

“Ada darah hingga selutut orang di Suriah,” kata Sala yang berusia 17 tahun.

Sementara Maher, 16 tahun, yang disiksa di Suriah, yang ayahnya masih hilang di sana, mengatakan: ”Harapan pertama saya adalah ingin kembali ke Suriah dan membebaskan ayah saya.”

Sejumlah anak-anak juga menggambar berbagai senjata perang dan mayat.

”Gagasan tentang rumah dan kehangatan hilang dalam gambaran,“ kata Turk.

“Ada banyak kengerian psikologis dan ada banyak trauma… anda bisa lihat bagaimana mereka tidak bisa tidur, anak-anak sangat tenggelam, ada yang gagap, dan mengompol.“

Kemarahan juga adalah hal biasa, dengan sejumlah anak laki-laki ingin kembali ke Suriah untuk ikut berperang.

Bekas luka lainnya bersifat fisik: 741 anak-anak Suriah dirawat karena luka perang di Libanon selama enam bulan pertama tahun ini, dan 1.000 lainnya dirawat di kamp pengungsi Yordania.

Problem di pengungsian

Gelombang besar pengungsi Suriah itu membutuhkan makanan, air, pelayanan kesehatan dan akomodasi yang masalahnya sangat terbatas di negara-negara tujuan pengungsi. Itu belum lagi termasuk masalah pendidikan.

Di Libanon, gampangnya, jumlah anak-anak muda Suriah sama dengan jumlah anak-anak lokal yang belajar di lembaga pendidikan pemerintah – 700.000 dari anak-anak Libanon lainnya bersekolah di lembaga swasta.

Kurang dari setengah dari pengungsi anak-anak Suriah di Libanon yang menerima pendidikan formal.

Kecemasan lainnya terkait biaya transportasi, atau kebutuhan lapangan kerja untuk mendukung keluarga, kata Turk sambil menambahkan bahwa sepertiga anak-anak yang diwawancara UNHCR hampir tak pernah meninggalkan tempat penampungan sementara mereka, sebagian karena cemas karena tinggal di lingkungan yang asing bagi mereka.

ab/hp (afp,ap,rtr)