1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hilangnya Mahkota Ratu Kecantikan Myanmar

4 Oktober 2017

Gelar ratu kecantikan Myanmar yang disandang Shwe Eain Si dicopot, diduga lantaran komentarnya yang menuding militan Rohingya. Penyelenggara kontes membantah alasan tersebut dan berbalik memuji video yang diunggah Shwe.

https://p.dw.com/p/2lC6a
Miss grand Myanmar 2017, Shwe Eain Si
Foto: facebook/shweedwards

Awal pekan ini, gelar Miss Grand Myanmar 2017 yang disandang Shwe Eain Si secara resmi dicopot. Awalnya beredar dugaan Shwe Eain Si kehilangan gelarnya akibat mengunggah video yang berisi tudingan terhadap militan Muslim Rohingya sebagai pihak yang memicu terjadinya kekerasan di bagian barat Myanmar tersebut. Saat itu, organisasi penyelenggaran kontes tidak menjelaskan secara rinci dan hanya menyebutkan Shwe Eain Si telah melanggar beberapa aturan dalam kontrak.

Selasa (03/10) dalam komentarnya di Facebook, model tersebut membantah telah melanggar kontrak dan menduga keputusan tersebut terkait dengan komentarnya di jejaring Facebook mengenai krisis di Myanmar. Shwe bahkan membela videonya sebagai upaya dari "salah satu warga negara Myanmar untuk menggunakan ketenarannya dalam mengungkap kebenaran bagi bangsanya".

Dalam video yang memuat berbagai gambar kekerasan tersebut, Shwe Eain Si menyampaikan pandangan yang dipercayai mayoritas publik Myanmar. Militan Rohingya dianggap telah melakukan "kampanye media" untuk menggiring dunia agar berpikir bahwa "mereka mengalami penganiayaan". Shwe mengacu pada krisis kemanusian yang terjadi di Rakhine.

Rabu (04/10), penyelenggara "Miss Universe" Myanmar menjelaskan alasan mengapa mereka menarik gelar Shwe Eain Si. "Keputusan organisasi Miss Universe Myanmar terkait Shwe Eain Si tidak terkait sama sekali dengan video Rakhine," tulis penyelenggara dalam laman Facebook mereka. Lebih lanjut dituliskan: "Meski demikian file video yang diunggah saat ini adalah baik, bahkan akan lebih baik lagi jika direkam secara lebih lengkap."

Reaksi yang muncul di tengah masyarakat Myanmar terkait tindak kekerasaan yang dilakukan militer di Rakhine memang berbanding terbalik dengan pandangan masyarakat internasional. PBB mengkritik tindakan kekerasaan tentara Myanmar terhadap kelompok militan Rohingya sebagai upaya sistematis untuk melakukan pembersihan etnis di perbatasan Myanmar. Pemerintah Myanmar secara keras membantah tuduhan tersebut. Di antara masyarakat Myanmar, tekanan global justru menyebabkan Islamofobia serta sentimen terhadap etnis Rohingya semakin merebak. 

Selama bertahun-tahun, tentara dan para biksu beraliran radikal menggalakkan ketegangan etnis dengan menyebarkan ketakutan bahwa warga Islam akan mengambil-alih kekuasaan di Myanmar, meski populasi umat Islam di negara tersebut kurang dari lima persen.

Pemerintah Myanmar juga menolak mengakui keberadaan Rohingya sebagai bagian kelompok etnis di Myanmar dan kerap merujuk etnis tersebut sebagai "Muslim" atau "orang Benggali", singkatan bagi imigran ilegal dari Bangladesh.

Drama yang melibatkan ratu kecantikan bukan kali ini saja terjadi di Myanmar. Awal tahun ini, seorang pemenang kontes transgender ditahan polisi karena komentarnya di situs gosip selebritas yang populer di negara tersebut. Ia digugat salah seorang artis ternama dengan alasan penghinaan.

Tahun 2014, seorang ratu kecantikan Myanmar juga lengser dari tahtanya karena dituduh tidak jujur dan berperilaku buruk. Ia kabur ke Korea Selatan dengan membawa serta mahkotanya.

ts/hp (afp)