1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Harapan Reformasi Ekonomi Meredup?

14 April 2014

Prospek untuk reformasi yang sangat dibutuhkan Indonesia kini dalam keraguan setelah partai oposisi terbesar gagal meraih suara sebagaimana diharapkan dan memaksanya membangun koalisi yang rumit.

https://p.dw.com/p/1BhRb
Foto: Getty Images

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) meraih sekitar 19 persen suara dalam pemilihan parlemen pekan lalu, demikian menurut hasil hitung cepat, menempatkan mereka di urutan pertama, tapi gagal meraih 25-30 persen sebagaimana diharapkan.

Meski didukung oleh popularitas calon presidennya, gubernur Jakarta Joko Widodo atau Jokowi, yang kini berada di depan dalam persaingan menjadi presiden berikutnya, namun partai ini gagal menerjemahkan keunggulan ini di kotak suara.

Perhitungan awal mengindikasikan bahwa PDI perjuangan akan harus membangun sebuah koalisi besar agar bisa memajukan Jokowi dalam pemilihan presiden Juli mendatang. Semua ini mengartikan bahwa kelak, pengambilan keputusan akan tetap rumit dan mengurangi kesempatan untuk mempercepat reformasi ekonomi, kata para analis.

Sebuah partai atau gabungan partai memerlukan 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen suara nasional, agar bisa mengajukan seorang kandidat.

Partai baru Nasional Demokrat (Nasdem) akhir pekan lalu menjadi partai pertama yang menyatakan dukungan kepada PDI-P, meskipun negosiasi masih berlangsung dengan partai-partai lain dan bentuk akhir koalisi hingga kini masih belum jelas.

Jumlah partai di parlemen kelak juga akan bertambah menjadi sepuluh, dari sebelumnya sembilan partai, dengan banyak partai-partai kecil yang meraih keuntungan, sebuah hasil yang artinya akan menciptakan parlemen yang terpecah-pecah dan sulit diajak bekerjasama.

“Legislatif (kelak) lebih retak daripada sebelumnya di parlemen lalu,“ kata Paul Rowland, seorang analis independen di Jakarta, sambil menambahkan bahwa dalam situasi demikian kebijakan “pro pasar“ akan tidak mungkin dibuat.

Indonesia adalah negara anggota G20 dan salah satu kekuatan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat dengan 5,8 persen tahun lalu -- namun para investor sejak lama mengkritik kegagalan para pembuat kebijakan untuk merealisasikan potensi tersebut.

Infrastruktur yang buruk dan korupsi mewabah, sementara birokrasi sangat rumit dan gemuk, telah menghambat para investor asing untuk menjalankan bisnis.

Nasionalisme ekonomi juga menguat beberapa tahun terakhir, kata para pengamat, menunjuk pada berbagai kebijakan seperti larangan ekspor bijih mineral, yang memukul perusahaan penambang asing, serta langkah untuk menghentikan bank asing untuk memiliki saham di dunia perbankan.

Pemerintah yang lambat

Masalah utama yang dilihat sebagai penghambat reformasi beberapa tahun terakhir adalah koalisi yang dibangun Presiden Susilio Bambang Yudhoyono, yang terdiri dari enam partai serta sifat suka bertengkar di parlemen, kata para pengamat.

Dewan Perwakilan Rakyat tahun lalu menghalangi upaya menteri untuk melunakkan kebijakan larangan ekspor bijih mineral dan pemerintah juga menghadapi pertempuran keras untuk mendorong pengurangan subsidi BBM, yang melahap potongan besar anggaran negara, meski pada akhirnya mereka berhasil.

Tapi harapan bahwa 560 kursi di parlemen akan menjadi lebih stabil kini telah pupus, kata para analils.

Reaksi pasar setelah pemilihan menunjukkan bahwa para investor merasa tidak nyaman – pasar saham Jakarta turun lebih dari tiga persen dan nilai tukar rupiah melemah,“ kata Fauzi Ichsan, ekonom senior Standard Chartered Bank, sambil menambahkan bahwa komunitas bisnis berharap PDI-P akan membangun koalisi yang lebih ramping dan lebih mudah dikelola.

“Terlalu banyak partai di dalam koalisi akan memperlambat pemerintahan dan penuh dengan kepentingan politik,“ kata dia.

Fauzi Ichsan mengatakan para investor berharap pemimpin baru negeri akan menciptakan pemerintahan yang “lebih efektif dan efisien”.

“Saya pikir (Jokowi), dengan melihat dari cara menangani berbagai hal di Jakarta satu setengah tahun terakhir, dia bisa melakukan ini,“ kata Fauzi Ichsan.

ab/hp (afp,ap,rtr)