1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Harapan Baru Bagi Kopenhagen?

27 November 2009

Setelah Amerika Serikat mengumumkan sasaran pembatasan emisi gas rumah kaca, Cina juga terdorong memperkenalkan prakarsanya.

https://p.dw.com/p/KjkR

Harian Perancis Le Monde menulis:

Beberapa waktu lalu, konferensi iklim di Kopenhagen kelihatan ada di bawah bayangan suram. Banyak pihak menilai, konferensi ini pasti gagal. Amerika Serikat dan Cina, dua pencemar terbesar dunia, tidak mau membahas perjanjian internasional untuk reduksi emisi gas rumah kaca. Dengan alasan, semuanya masih terlalu dini. Tapi Presiden Amerika Serikat sekarang membuka peluang baru. Obama akhirnya memenuhi persyaratan dasar untuk perundingan di Kopenhagen. Yaitu bahwa negara-negara industri maju tampil dengan target konkret hingga tahun 2020. Amerika Serikat memang harus menunjukkan prakarsa, agar Cina juga mau bergerak. Sekarang Cina juga sudah mengumumkan sasaran konkretnya. Jadi, cukup banyak bahan untuk perundingan. Ini adalah langkah maju, sekalipun bukan jaminan untuk keberhasilan.

Harian Jerman Tagesspiegel memberi penilaian serupa dan berkomentar:

Dua bulan lalu, Kopenhagen kelihatan tidak mampu berbuat sesuatu. Kanselir Jerman Angela Merkel adalah kepala negara pertama dari kelompok industri maju, yang mengumumkan bahwa ia tetap akan datang ke Kopenhagen, sekalipun tidak ada prospek tercapainya perjanjian yang mengikat. Sekarang, Perdana Menteri China Wen Jiabao menyatakan akan datang ke Denmark. Demikian juga Presiden AS Barack Obama. Kini mulai terlihat adanya geliat dalam isu perlindungan iklim.

Tema lain yang jadi sorotan pers adalah situasi keuangan Dubai, yang mendadak minta penundaan pembayaran utangnya. Padahal Dubai selama ini dikenal sebagai negara kaya. Permintaan Dubai langsung mengguncang pasar saham dunia. Harian Inggris Independent berkomentar:

Dampak lanjutan dari masalah keuangan di Dubai tidak boleh dipandang enteng. Banyak bank-bank besar Inggris yang cukup tergantung pada utang dari Dubai. Jika mereka terpaksa mengoreksi nilai kreditnya, ini bisa punya dampak serius pada perekonomian. Makin lemah perbankan, makin sedikit uang yang bisa dipinjamkan kepada perusahaan Inggris. Juga bagi perekonomian global, akibatnya bisa fatal. Kepercayaan terhadap pasar kredit, yang pelahan mulai pulih, kembali guncang. Para investor akan bertanya-tanya, siapa yang berikutnya bakal oleng.

Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung menulis:

Terlalu besar, roda yang ingin digerakkan Dubai. Para pengusahanya terlalu mengandalkan pasar properti. Memang, dulu keuntungan besar mudah didapat. Tapi sekarang, harga rumah dan bangunan turun sampai setengahnya. Bahwa Emirat Dubai bisa sempoyongan, tidak ada yang menduga sebelumnya. Sebab biasanya, tetangganya Emirat Abu Dhabi langsung membantu. Sekarang pun, Abu Dhabi sudah mengucurkan lima miliar dollar. Tapi jumlah itu ternyata tidak cukup. Dubai perlu dana lebih banyak. Jadi mulai muncul spekulasi, mengapa Abu Dhabi sekarang menahan diri. Salah satu alasan yang mungkin, jaminan yang ditawarkan Dubai tidak cukup menarik.

HP/CS/dpa/afp