1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Film Anak Rimba Diluncurkan Di Berlin

9 Februari 2011

Film Dschungelkind atau Anak Rimba diluncurkan di Berlin. Film ini, diangkat dari sebuah buku dengan judul yang sama, mengisahkan pengalaman masa kecil Sabine Kuegler di rimba Papua.

https://p.dw.com/p/10Emd

Diawali dengan pemandangan Eropa, dengan lembah bersalju pada musim dingin. Seorang perempuan muda bermata biru tampak berdiri terpekur, memandang lembah didepannya dan berkata dalam hati, "Saya ingin bercerita mengenai cinta, benci, pengampunan dan keindahan hidup..“

Adegan, lalu berubah drastis. Pemandangan hutan tropis Papua yang lebat dari helikopter yang melintas diatasnya. Inilah pengalaman keluarga Kuegler yang pindah dari Jerman ke Papua pada awal tahun 70-an. Pasangan Doris dan Thomas Kuegler membawa tiga anak mereka, Judith, Sabine dan Christian untuk menetap di rimba Papua. Mereka hidup berdampingan dengan suku Fayu. Alasannya, sang ayah, Thomas Kuegler adalah seorang penginjil yang ditugaskan oleh organisasi Wycliffe Bible Translator untuk bertugas disana. Sementara ibu Sabine, Doris, membantu kerja suaminya sebagai bidan.

Keluarga Kuegler menjalin persahabatan dengan anggota suku Fayu. Awalnya mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Bagi Sabine Kuegler dan saudara saudaranya, menjalani sekolah jarak jauh dan bermain bersama sama anak anak suku Fayu juga merupakan bagian dari kehidupan sehari hari dan Sabine merasa sulit meninggalkan kawan-kawannya dan kehidupan di rimba. Dalam film diceritakan bahwa usia Sabine 8 tahun, hampir 12 tahun masa hidupnya diceritakan. Terutama mengenai impiannya untuk kembali tinggal di hutan.

Buku Dschungelkind atau Anak Rimba yang ditulis Sabine Kuegler telah menjadi best seller dunia dan sudah diterjemahkan ke lebih dari 25 bahasa. Ini alasannya mengapa produsen film Jerman ingin mengangkatnya pada layar lebar. Film Dschungelkind ini dibuat dalam 2 versi. 120 menit untuk versi film yang diputar di bioskop dan 2 kali 90 menit untuk versi televisi yang akan ditayangkan pada akhir tahun 2011.

Tuntutan naskah menjadikan film ini sedikit berbeda dengan apa yang terjadi sesungguhnya. Menurut Sabine Kuegler, "dalam film itu sutradara membuat ibu saya tampak amat khawatir tentang keselamatan anak anak dan ayah saya lebih santai. Pada kenyataannya, tidak begitu. Kedua orangtua saya sangat antusias tinggal di hutan dan mereka menikmatinya“.

Dengan terperinci, Sabine Kuegler masih ingat pengalaman-pengalaman luar biasa selama tinggal di hutan bersama keluarganya. Tadinya ia meragukan kemampuan film menggambarkan apa yang dialaminya. Namun ternyata, ia bisa menemukan dirinya disitu.

"Beberapa adegan digarap dengan sangat baik. Salah satunya adalah ketika kami mengalami banjir banjir besar di hutan. Adik lelaki dan saya bangun tidur dan melihat ratusan serangga di seluruh rumah kami. Ketika saya melihat adegan ini saya betul betul tersentuh karena adegan adegan itu benar benar seperti yang saya ingat“.

Persahabatan Sabine dengan suku Fayu di rimba Papua merupakan inti dari film ini. Ketika Sabine menginjak usia 18 tahun, Ohri, sahabat Sabine meninggal. Sabine teramat sedih sehingga ia langsung menerima tawaran pamannya untuk melanjutkan pendidikan formal yang lebih tinggi. Orangtua Sabine, mengirimnya ke Montreux, Swiss. Sabine tinggal di sebuah asrama anak anak perempuan di tepi danau Geneva. Disinilah, konflik dalam diri Sabine berawal.

Sabine tidak bahagia. Rumah baginya, bukan Eropa, dimana orang orang sekitarnya memiliki kulit yang sewarna dan mata yang biru seperti dirinya. Bagi Sabine, rumahnya adalah rimba Papua, dimana teman teman suku Fayunya tinggal.

Sutradara film ini, Roland Suso Richter banyak melakukan riset sebelum film ini diproduksi. Dari tokoh tokoh asli film ini, keluarga Kuegler, Roland Suso Richter dan timnya banyak menggali informasi. Misalnya bagaimana suasana perkampungan suku Fayu . Sabine juga diajak selama 2 minggu oleh Ronald Susio Richtera guna mengikuti pengambilan gambar film di wilayah rimba Malaysia. Peranan suku Fayu diisi orang-orang Papua Nugini yang ternyata memiliki kemiripan budaya.

Indonesien / Papua
Foto: AP

Menurut Sabine, ada 82 orang Papua Nugini yang diterbangkan ke Malaysia dan bagi dia, "rasanya seperti bertemu lagi dengan orang orang dari kampung saya. Budaya yang saya tau dan kenal. Pertemuan dengan mereka sangat menyenangkan dan berkesan. Kami banyak tertawa bersama“

Sekarang Sabine hidup di Jerman dan menjalani hidup seperti orang Jerman kebanyakan. Baginya apa yang dialami di rimba Papua akan tetap bersemayam dalam jiwa. Ia selalu bermimpi untuk kembali, tidur beralas rumput dan beratap langit berbintang.

Sabine Kuegler, menulis 2 buku lain sebagai kelanjutan dari buku Dschungelkind. Dalam buku kedua, berjudul Ruf Des Dschungels, Sabine menceritakan perjalannya kembali ke Papua pada tahun 2005. Ia membeberkan pandangannya terhadap permasalah di Papua dengan lebih kritis. Karenanya, sekarang Sabine dilarang untuk mengunjungi tanah masa kecilnya.

Buku ketiga berjudul Jägerin und Gejagte, Si pemburu dan diburu, mengisahkan tentang fase Sabine dewasa yang tak dapat lepas dari kegiatan masa kecilnya yang selalu penuh ketegangan, berburu.

Miranti Hirschmann
Editor: Edith Koesoemawiria