1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

171109 Balkanstaaten Krise

24 November 2009

Krisis ekonomi global sangat terasa dampaknya di Eropa Tenggara. Negara di kawasan itu terjebak di tengah proses transformasi dan pemulihan. Diantara negara-negara Balkan ada pecundang, ada pemenang.

https://p.dw.com/p/KaQE
Simbol bild krisis keuangan dan industri

Zwack Unicum, produsen minuman keras Hungaria, tidak termasuk korban krisis ekonomi global. Bisnis justru berjalan bagus karena konsumen menjadikannya sebagai obat depresi. Situasi seperti ini hanya dinikmati perusahaan luar negeri, tuding pakar politik Hungaria Zoltan Kiszely. "Perusahaan asing besar lah yang menyedot keuntungan. Kapital yang terhimpun di Hungaria sedikit, keuntungan mengalir ke luar negeri. Lapisan menengah hampir tak bisa berbuat apa-apa. Kredit dipakai untuk pengeluaran mewah, bukan untuk investasi. Akan sangat sulit membayar kredit tersebut dari pertumbuhan ekonomi."

Penjelasan jujur harus disampaikan kepada rakyat bahwa kesulitan tengah menghadang dan rakyat harus berkorban untuk jangka waktu tertentu, kata Zoltan Kiszely. Jika itu tidak dilakukan, Hungaria tidak bisa keluar dari krisis.

Situasi serupa juga dialami Bulgaria. Berita baiknya, setelah pertumbuhan ekonomi konstan selama 12 tahun dan merugi besar akibat krisis keuangan global, para investor siap untuk mulai lagi dari awal. Berita buruknya, angka pengangguran membumbung tinggi. Ekonomi masih lesu. Pemerintah lamban mengambil langkah reformasi yang diperlukan dan dalam memberantas korupsi.

Albania bernasib lebih baik. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diramalkan 3%. Albania cepat pulih karena sistem keuangannya tidak begitu kuat terintegrasi dengan pasar keuangan internasional. Krisis global juga berdampak positif. Kekurangan tenaga ahli bukan masalah lagi, sejak warga Albania yang menuntut ilmu di luar negeri, berduyun-duyun kembali ke tanah air.

Saat orang di Albania sudah bisa tertawa lagi, di Rumania mengalir air mata kepedihan. Bukan utang negara yang menjadi masalah tetapi krisis pemerintahan yang menghalangi reformasi dan program ekonomi. Milyarder di Bukarest, seperti Ion Blazac, memilih untuk berinvestasi secara pribadi. "Kami baru saja mengalami krisis. uang semakin tidak bernilai. Lebih untung membeli Ferrari, penurunan nilainya rendah, hanya 5% per tahun."

Tapi di Serbia, ekonomi mulai bangkit. Perjanjian perdagangan bebas Uni Eropa membuat Serbia makin menarik bagi perusahaan asing. Negara ini juga melaksanakan reformasi, seperti yang dituntut Uni Eropa dari calon anggotanya.

Hal serupa sulit dilakukan Bosnia-Herzegovina yang terpecah-belah secara politis. Para pengkritik menuding, etnis Serbia, Bosnia dan Kroasia berjalan tak satu arah. Masalah politik menghalangi reformasi. Bukan berarti tak ada titik terang. Tuntutan untuk mengejar ketinggalan dalam infrastruktur begitu besar sehingga Bosnia tetap menarik investor. Kelompok-kelompok etnis yang bersengketa bisa bersepakat dalam modernisasi kontrol perbankan dan ini baik bagi iklim bisnis.

Situasi dramatis terlihat di Kroasia. Belum pernah perekonomian begitu buruk, sejak perang Balkan, 1990 -1995. Demonstrasi anti pemerintah berlangsung hampir setiap hari. Takut akan kehilangan pekerjaan mendorong orang turun ke jalan. Memang, akibat krisis global, pemerintah memberi keringanan pajak, tetapi kendala investasi tetap tak tertangani, yaitu korupsi dan administrasi berbelit-belit.

Andreas Meyer-Feist/Renata permadi

Editor: Yuniman Farid