Eropa Bergolak Setelah Pengunduran Diri PM Italia
5 Desember 2016Akhir Agustus silam pulau Ventotene di lepas pantai Napoli riuh oleh kedatangan tiga pembesar Eropa. Di depan makam Altiero Spinelli, salah seorang bapak pendiri Uni Eropa, ketiganya berikrar persatuan setelah Inggris memilih hengkang. Mereka adalah Francois Hollande, Matteo Renzi dan Angela Merkel.
"Ini adalah awal bagi Eropa yang baru," kata Merkel saat itu.
Tiga bulan setelah pertemuan simbolik itu Eropa kembali terseret di jurang perpecahan yang sama. Francois Hollande menyatakan tidak akan mencalonkan diri lagi dalam pemilu Perancis dan kini Matteo Renzi harus lengser setelah kalah dalam referendum.
Bertaruh Karir demi Gagasan
Renzi mempertaruhkan karir politiknya dalam referendum yang diniatkan untuk mengebiri kekuasaan Senat dan memperkuat eksekutif. Sejak kejatuhan rejim fasis Benito Mussolini, 1945, Italia menyerahkan kekuasaan absolut pada dua kamar legislatif.
Meski demokratis, sistem tersebut membuat negara terbesar ketiga di Uni Eropa itu menjadi lambat dan imun terhadap perubahan.
"Pengalaman saya di pemerintahan berakhir di sini," kata Renzi. "Saya telah mengupayakan segalanya untuk memenangkan referendum. Jika Anda bertempur demi sebuah gagasan, Anda tidak boleh kalah."
Kepergian Hollande dan Renzi dikhawatirkan bakal menjadi kesempatan buat kaum populis kanan untuk merebut kuasa di dua negara berpenduduk terbesar di Eropa. Bahkan kekalahan kandidat populis kanan Austria, Norbert Hofer, dalam pemilu kepresidenan gagal mengusir gelisah yang kian menguat setelah Brexit.
Perancis saat ini kian bergeser ke kanan dengan kebangkitan Partai Les Républicains yang konservatif dan terutama Front National yang anti Eropa. Sementara di Italia, kemenangan kelompok anti amandemen konstitusi ikut mengangkat popularitas Lega Nord dan Gerakan Bintang Lima - dua kelompok populis kanan terbesar.
Merkel Digoyang
Maka Eropa kini menggantungkan harapan pada Merkel. Sebab itu pula dia berniat mencalonkan diri untuk masa jabatan ke-empat. "Dia bangkit lagi karena melihat bagian terbesar warisan politiknya sedang terancam," kata Jürgen Falter, Professor Politik di Universitas Mainz kepada Financial Times. "Dia memahami tugasnya sebagai pemimpin dunia."
Tapi tidak selamanya damai di Surga. Di dalam negeri pun Merkel mulai digoyang ihwal kebijakannya menampung satu juta pengungsi. Kini peluangnya untuk mencalonkan diri terus menipis.
Tahun 2017 akan menjadi tahun penentuan. Karena saat itulah Jerman, Perancis dan Italia akan menggelar pemilihan umum yang bakal menggariskan masa depan Uni Eropa.
rzn/ap (rtr,afp,dpa,ft)