1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Era Baru Bagi Pers di Myanmar

Rodion Ebbighausen3 Mei 2013

Perubahan politik di Myanmar membawa suasana baru bagi media. Kebanyakan jurnalis menyambut perubahan ini, tapi mereka mengaku masih harus banyak belajar.

https://p.dw.com/p/18Qgo
Kiosks in Birma / Myanmar Foto: Rodion Ebbighausen, Mai 2013
Koran MyanmarFoto: DW/R.Ebbighausen

Pagi hari para penjual menjajakan koran mereka di pinggir jalan. Foto Aung San Suu Kyi yang sedang tersenyum terpampang di halaman utama. Yang jadi berita utama hari itu adalah kemungkinan mundurnya Presiden Thein Sein. Selain itu ada berita tentang kerusuhan di pertambangan Letpadaung, dan tentang kerusuhan yang terjadi terhadap kelompok minoritas Rohingya.

Harian "The Voice“ juga membahas secara mendalam keuntungan dan kerugian sebuah sistem negara federasi. Tema ini setahun yang lalu masih sulit dibayangkan bisa muncul di media. Sekarang, hampir setiap media memberitakan tentang kegiatan pimpinan oposisi Aung San Suu Kyi. Tapi besarnya foto di halaman utama masih dibatasi, yaitu sekitar 7x12 sentimeter.

Koran di Myanmar baru bisa terbit setiap hari mulai 1 April 2013. Sebelumnya koran hanya diijinkan terbit seminggu sekali, karena lebih dulu harus diperiksa oleh lembaga sensor. Mulai Agustus 2012 lembaga sensor ini dihapus.

Angin Keterbukaan

Organisasi Reporter Tanpa Batas (RSF) baru-baru ini menyebutkan, angin kebebasan mulai berhembus di Myanmar. Wakil Pemimpin Redaksi ”The Voice”, Zeya Thu mengaku gembira dengan reformasi di bidang pers. ”Pada awalnya saya kurang optimis. Saya menduga sensor masih akan berlangsung dua sampai tiga tahun. Tapi sensor tiba-tiba menghilang”.

Kepada Deutsche Welle, Zeya Thu menceritakan kegiatan medianya setelah reformasi. ”Pada awal reformasi The Voice menerbitkan artikel tentang korupsi. Waktu itu pemerintah langsung mengritik. Tapi makin lama lembaga sensor makin lemah. Sekarang makin banyak jurnalis yang menulis tentang korupsi.“

Tema-tema lain yang dulu tabu, sekarang bisa diangkat ke publik. Misalnya isu tentang militer, pelanggaran hak asasi manusia dan konflik dengan kelompok etnis. Sekarang semua itu sudah bisa dibahas secara terbuka. Zeya Thu menyimpulkan: ”Kami bebas menulis apa yang ada dalam pikiran kami”.

Tapi Reporter Tanpa Batas masih mengritik situasi pers di Myanmar. Sampai saat ini, belum ada undang-undang yang menjamin kebebasan pers dan melindungi pekerjaan jurnalis. Semua undang-undang yang membatasi kebebasan berpendapat masih berlaku. Reporter Tanpa Batas memperkirakan, belum ada UU Pers yang baru sampai akhir tahun 2013. Organisasi ini menuntut, semua UU yang membatasi kebebasan pers harus dihapuskan.

Media Harus Profesional

Kementerian Dalam negeri Myanmar sudah menghapus lembaga sensor, tapi mengeluarkan beberapa kode etik yang bertolak belakang. Misalnya: Jangan mengomentari kerja pemerintah secara negatif. Di bagian lain tertulis: Kalau ada artikel kritis tentang pemerintah, harus ada sumber dan bukti yang bisa dipercaya.

Zeya Thu mengakui, banyak jurnalis di Myanmar yang masih harus memahami cara kerja media. ”Para jurnalis harus menjadi profesional dan menambah pengetahuan. Yang penting adalah tanggung jawab sosial dari profesi ini”.

Masyarakat dan pemerintah masih harus belajar bergaul dengan pers yang bebas, setelah puluhan tahun ada sensor. ”Masyarakat harus mengembangkan kesadaran tentang media. Pemerintah harus belajar memahami, apa tugas dan peran media dalam masyarakat”, kata Zeya Thu.