1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Enzensberger, Sang Penyair dan Pemikir

18 November 2009

Hans Magnus Enzensberger dianggap sebagai penyair dan cendekiawan kontemporer terpenting di Jerman. Karya-karyanya telah diterjemahkan dalam puluhan bahasa, termasuk kedalam Bahasa Indonesia.

https://p.dw.com/p/KZ7w
Hans Magnus EnzensbergerFoto: picture-alliance/ dpa

"Jangan baca puisi anakku. Bacalah jadwal perjalanan: ia lebih seksama. Bukalah peta dunia sebelum terlambat. Waspadalah, jangan menyanyi. Akan tiba hari ketika mereka akan memasang pengumuman di mana-mana. Serta menerakan tanda pada dada para pembangkang. Belajarlah berejalan diam diam, belajarlah lebih dari aku, pindah wilayah ganti pasport dan wajah. Yang tepat untuk membuat api adalah esnsiklika-ensiklika, sedangkan manifes: bagus untuk membukus, garam dan mentega bagi mereka yang tak berdaya. Amarah dan kesabaran diperlukan untuk meniupkan debu mematikan itu ke paru- paru kekuasaan. Debu yang digiling mereka yang seksama dipilih mereka yang telah banyak belajar darimu.“ Ini merupakan bagian dari sajak Enzensberger yang berjudul Bacaan Wajib Sekolah Menengah Atas.

Sajak ini merupakan salah satu karya awal Enzensberegr yang dimuat dalam kumpulan puisinya yang pertama, "Pembelaan Serigala". Diterbitkan tahun 1957, karya-karya di kumpulan ini mengguncangkan sastra Jerman. Enzensberger dianggap telah meletakkan dasar bagi pembaharuan puisi Jerman. Ia dianggap sebagai perintis sajak-sajak politik, dengan bahasa yang sederhana, terang, namun kuat.

Sesudah itu karya-karya lainnya bermunculan. Namun ia tak cuma menulis sajak. Karya-karya Enzensberger terentang luas ke berbagai bidang sastra, juga pemikiran.

"Dia menulis cukup banyak puisi, novel, sandiwara. Dan selain itu, dia seorang essais yang gemilang yang sejak dulu, dan ia melibatkan diri bukan saja dalam peristiwa budaya namun juga politik. Dia seorang tokoh gerakan 68, katakanlah semacam revolusi budaya di Jerman," jelas Berthold Damhäuser, ahli sastra dari Universitas Bonn, yang juga penerjemah karya-karya Enzensberger ke dalam Bahasa Indonesia.

Ditandaskan Damshäuser, Enzensberger merupakan sastrawan sekaligus intelektual publik Jerman yang paling berpengaruh setelah Perang Dunia ke dua. Kendati di Indonesia namanya tak begitu dikenal. Selama beberapa puluh tahun hanya satu dua karyanya diterjemahkan. Dan baru Agustus lalu, gambaran kepenyairan Enzensberger dimunculkan lebih lengkap, melalui penerbitan terjemahan 40 sajaknya. Diterbitkan dengan judul "Coret Yang Tidak Perlu“, buku ini merupakan bagian kelima dari Seri Puisi Jerman, dan yang pertama yang menampilkan penyair yang masih hidup.

Hans Magnus Enzenberger lahir 11 November 1929 disebuah kota kecil di Jerman Selatan. Kini ia hidup di kota München. Sejak tahun 1931 keluarganya pindah ke Nürnberg. Ternyata kota itu menjadi pusat gerakan NAZI Adolf Hitler. Ketika berumur sembilan tahun, Perang Dunia kedua meletus. Kota tempat tinggalnya hancur dibom sekutu. Tetapi Enzenberger justru menyalahkan Jerman atas peristiwa itu, karena Jerman dianggap sebagai pemicu peperangan itu.

Karya karya Enzensberger selanjutnya dipenuhi dengan semacam sikap kecurigaan terhadap apapaun yang tampak sebagai gejala fasisme baru. Banyak puisi serta esainya mengangkat tema yang menjadi topik diskusi kaum kiri Eropa ketika itu. Seperti hegemoni Amerika, ketidakadilan global, eksploitasi negara dunia ketiga, serta perlombaan senjata nuklir.

Enzensberger juga terlibat dalam demonstrasi, diskusi dan berbagai bentuk aktivitas kaum kiri masa itu, yang mengukuhkan posisinya sebagai salah satu tokoh utama angkatan 68. Yang menarik, sikapnya yang progresif dan lantang, dikecam dan diejek bukan saja oleh kaum konservatif, bahkan juga oleh sebagian kaum kiri sendiri. Jurgen Habermas, filsuf utama Mahzab Frankfurt yang sebetulnya secara politik sehaluan, meledek aktivisme Enzensberger yang dianggap berlebihan. Tanpa menyebut nama, Habermas menyebut Enzensberger sebagai seorang badut di istana kaum revolusioner yang mengobarkan revolusi palsu, menggunakan gaya puisi usang tahun 20-an.

Namun seiring dengan perubahan waktu, nada suaranya bergeser pula. Lambat laun sikapnya berubah. Damhauser menyebut peristiwa penting yang ikut berperan mengubah sikap Enzenberger adalah apa yang disaksikannya di Kuba. Saat itu, tahun 1969, ia memutuskan pindah ke Kuba dengan reomantisme revolusi proletariat di kepalanya.

“Ketika itu dia ke Kuba dengan semangat kekiri-kirian, dan perasaan masih bisa menjadi penasehat bagi pemerintah Kuba. Dia berencana menjadi semacam penghubung antara gerakan komunis di negara-negara berkembang. Tetapi dia disana digunakan cuma untuk propaganda rakyat Kuba sendiri dan khususnya yang sangat mengecewakan dia, bahwa kehidupan rakyat kecil jauh lebih menderita dibandingkan kaum buruh di sekian banyak negara kapitalis,“ diceritakan Damshäuser.

Enzensberger lalu kembali ke Jerman. Ia memang tak serta merta berubah haluan. Namun pandangan politiknya jadi lebih jernih. Ia tetap seorang penentang kemapanan, namun tidak lagi dengan nada yang gegap gempita. Ia jadi lebih realistis dan terbuka. Dalam sebuah wawancara terbaru dengan TV Jerman, Enzensberger mengaku, pada masa-masa awal itu ia serta kawan-kawannya bersikap naif dengan pandangan-pandangan kiri revolusionernya.

Enzensberger tak lagi merupakan seorang kiri radikal, namun ia tetaplah seorang sastrawan dan cendikiawan yang kritis. Di lapangan pemikiran, pandangan-pandangannya mewarnai pembicaraan global aktual, mengenai Perang Teluk, krisis ekonomi global, bahkan terorisme internasional.

Pertanyaannya dengan perubahan-perubahan sikapnya ini, bagaimana menjelaskan konsistensinya? “Konsistensinya adalah menjadi tak konsisten, menjadi seorang cedekiawan yang sejati. Dan pertanda seorang cendekiawan sejati adalah dia senanatiasa berubah, dengan begitu banyak yang kita alami kalau tidak berubah itu menimbulkan kecurigaan,” ungkap Berthold Damhauser.

Enzensberger juga diakui sebagai manusia serba bisa. Dia menguasai banyak bahasa, menerjemahkan sendiri sebagian karyanya ke dalam BInggris. Bahkan pada usia 70 tahun, dia mulai belajar Bahasa Portugis. Lebih dari itu, ia juga menunjukkan penguasaan ilmu pasti yang mumpuni. Misalnya dalam matematika. Bahkan ia menulis sebuah buku laris, yang juga sukses di Indonesia, judulnya Setan Angka. Ini buku pengantar matematika yang ditulis dengan gaya santai dan menyenangkan.

Dalam sebuah wawancara di televisi Enzensberger mengatakan, "Ada orang yang punya kelebihan di bidang matematika, ada yang menjadi pemain sepakbola yang handal. Tapi saya tak tergolong pada mereka. Saya mungkin bisa saja jadi seorang pakar kimia yang baik atau jadi seorang banker top. Namun setiap orang harus tahu prioritasnya sendiri. Selain itu, karya sastra tentu saja bisa membuat orang ketagihan. Itu sedikit seperti merokok. Jadi orang bisa membiasakannya sejak sangat dini. Dan nantinya sangat susah menghentikan kebiasaan itu.“

Sementara dalam persajakkan, menurut Damshäuser, karya-karya Enzensberger menempuh beragam bentuk tak terduga. Gayanya yang dikenal prosais, dipertegas dengan sentuhannya pada penggunaan teks hukum atau kutipan dari karya ilmiah. Menurut Damshäuser, dia semakin menampilkan diri sebagai seniman bahasa yang ahli dalam kolase bahasa. Dan tetap dengan sikap kritis dan mandiri.

Zaki Amrullah/Ging Ginanjar

Editor: Yuniman Farid