1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dunia Bergerak Jauhi Hukuman Mati

Puri Kencana Putri.11 Juli 2016

Sementara lebih dari 170 negara di dunia telah berkomiten menghapus hukuman mati, di Indonesia, sejumlah narapidana masih menghadapi ancaman ekesekusi mati. Berikut ulasan Puri Kencana Putri.

https://p.dw.com/p/1JFmP
Foto: DW/P.K.Putri

Juni 2016 telah digelar Kongres Sedunia Menentang Hukuman Mati di kota Oslo, Norwegia. Pertemuan rutin setiap 3 tahun ini bertujuan untuk memperkuat solidaritas gerakan abolisi hukuman mati sembari mendorong komitmen negara untuk menghapus tindakan barbar dan tidak manusiawi tersebut dari tata hukum di tingkat domestik.

Memilih Oslo menjadi kota penyelenggaraan amatlah simbolik. Lima tahun silam aksi teror Andres Breivik yang telah membunuh 77 orang di Utoya adalah sebuah upaya untuk menciptakan panik dan reaksi berlebihan di Norwegia. Namun Pemerintah Norwegia tetap mempertahankan komitmennya untuk tidak menggunakan hukuman mati sebagai jawaban teror dan kepanikan massal tersebut.

Tidak heran apabila Oslo yang dipilih menjadi tuan rumah mampu menyatukan ratusan delegasi dari berbagai benua dan negara di dunia untuk berkomitmen dalam mengambil langkah terang menjauhi hukuman mati. Para delegasi, termasuk delegasi Indonesia telah membawa cerita, pengalaman advokasi dan tentu saja semangat dan keyakinan bahwa kombinasi hukum dan penghormatan hak asasi manusia dalam menghadapi situasi teror, kekerasan yang gencar dilakukan kelompok ekstremis hingga kebijakan yang tidak efektif adalah modalitas yang kecenderungannya meningkat hari ini secara universal.

Penulis : Puri Kencana Putri
Penulis: Puri Kencana PutriFoto: Puri Kencana Putri

Lebih dari 170 negara

Fakta-fakta global menyatakan bahwa lebih dari 170 negara di dunia telah berkomiten untuk menghapus hukuman mati. Fakta ini diikuti dengan beberapa nama negara di kawasan Asia Pasifik, Afrika dan Amerika Latin seperti Madagaskar, Mongolia, Fiji, Nauru, Fiji, Republik Demokratik Kongo dan Suriname mengubah afiliasi kebijakan hukumnya dengan terlibat sebagai negara abolisi hukuman mati. Kecenderungan positif juga hadir di Amerika Serikat ketika 19 negara bagian telah memutuskan untuk bergerak menjauhi praktik eksekusi mati dan dapat dipastikan kecenderungan ini akan terus berlanjut.

Namun demikian, di tengah tren progresif di atas, praktik hukuman mati masih kerap dijadikan solusi instan banyak pengambil kebijakan negara untuk menghadapi kepelikan dan perubahan karakter politik keamanan global. Hukuman matipun kemudian amat beririsan dengan beberapa isu yakni terorisme dan kekerasan kelompok ekstrem, penerapan hukum syariah Islam yang minim tafsir, kebijakan di sektor pengelolaan obat dan narkotika dan hal klasik lainnya yakni buruknya sistem pemidanaan dan penegakan hukum di suatu negara.

Setidaknya Amnesty International mencatat sepanjang tahun 2015 tidak kurang dari 1634 orang telah dieksekusi di Iran, Indonesia, Pakistan, Saudi Arabia, Amerika Serikat. Data ini belum sepenuhnya mencatat eksekusi mati di China.

Ada kekecewaan besar ketika negara seperti Chad, Pakistan dan Indonesia yang telah lama mengambil sikap moratorium de-facto, kemudian menggunakan alasan politis dengan mengambil kebijakan reaksioner untuk mengembalikan hukuman mati sebagai pintu efek jera. Konsep efek jerapun tidak terbukti efektif ketika di Indonesia sendiri angka pengguna narkotika meningkat drastis menjadi 5,9 juta orang ditahun 2015.

Situasi regresif ini juga dipotret dalam pernyataan tegas Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Hak Asasi Manusia Zeid bin Ra'ad dan advokat senior dan sekaligus suporter abolisi hukuman mati pasca Perang Dunia II, Robert Badinter pada pembukaan Kongres ini. Secara bersamaan baik Zeid dan Badinter menyatakan bahwa kepemimpinan dan Konstitusi adalah modalitas utama dari negara-negara yang masih mempraktikkan hukuman mati untuk segera mengakhiri praktik keji ini.

Ruang pembelajaran yang diabaikan

Kongres yang berlangsung efektif selama 2 hari sebenarnya dapat dijadikan ruang pembelajaran dari banyak pengambil kebijakan, termasuk Pemerintah Indonesia. Namun sayang, pemerintah mengabaikan undangan dari pihak penyelenggara acara Ensemble contre la peine de mor atau Bersatu Menentang Hukuman Mati (ECPM) dan World Coalition Against the Death Penalty untuk datang dan menghadiri acara.

Ketiadaan pejabat publik Indonesia dalam acara global ini adalah sebuah kerugian besar, mengingat ada banyak ruang pembelajaran guna mengkoreksi praktik yang salah dalam penegakan hukum di Indonesia, seperti cacatnya sistem pemidanaan yang telah membuka peluang praktik hukuman mati untuk mudah dijatuhkan, vonis hukuman mati yang diberikan kepada anak di bawah umur seperti dalam kasus Yusman Telaumbanua, hukuman mati yang mempertebal rasial diskriminasi –dalam konteks Indonesia banyaknya warga negara dari benua Afrika yang dijatuhi dan dieksekusi mati ditahun 2015; kriminalisasi para pengguna narkotika yang memiliki konsekuensi tidak hanya pada hukuman mati tapi juga pada buruknya sistem pemenjaraan di Indonesia.

Kebijakan-kebijakan terkini di Indonesia seperti Perppu Kebiri, rencana revisi Undang-Undang Anti Teror yang turut mempromosikan hukuman mati juga nampaknya telah memperrumit komitmen pemerintah untuk menjauhi hukuman mati.

Sampai di sini tantangan nyata yang akan dihadapi oleh Pemerintah Indonesia adalah bagaimana menjawab retorika efek jera, wacana kedaruratan –baik untuk narkotika, kejahatan seksual kepada anak dan terorisme, termasuk di dalamnya buruknya sistem pemidanaan, pengelolaan pusat-pusat penahanan di Indonesia dan minimnya akses informasi atas permohonan grasi terpidana mati yang kerap ditolak Presiden Joko Widodo akan bisa terjawab dengan tetap mempertahankan praktik hukuman mati.

Bergerak maju menjauhi hukuman mati adalah sebuah keniscayaan. Kita bukanlah negara eksklusif yang tumbuh dengan retorika patriotisme nasionalis semata. Mendorong Pemerintah Indonesia untuk berkomitmen dengan memperbaiki sistem penegakan hukum adalah keutamaan.

Oleh karena itu, gembar gembor rencana pelaksanaan eksekusi hukuman mati pasca Ramad´an kali ini kepada sejumlah narapidana yang latar belakangnya masih minim diketahui harus ditunda.

Penundaan bukan tanpa alasan, mengingat potensi pelanggaran hukum bisa saja terjadi dialami oleh setiap terpidana. Dengan menunda kita memberi jeda, evaluasi dan terpenting adalah meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa praktik hukuman mati hanya akan memperpanjang teror dalam wajah apapun di Indonesia.

Selayaknya, kepemimpinan untuk mengakhiri hukuman mati dipegang penuh oleh Presiden RI didukung dengan DPR RI, Komnas HAM dan aparat penegak hukum yang harus tunduk pada evaluasi. Presiden Joko Widodo sesungguhnya memiliki modal dengan orang-orang berpengaruh di sekitarnya yang paham betul bagaimana membawa isu moratorium hukuman mati menjadi isu prioritas. Namun apakah Presiden Widodo mau? Kita uji.

Penulis:

Puri Kencana Putri

Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.