1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Riset HIV: Belajar dari Kegagalan

cp/as (rtr, afp)3 Januari 2014

Para peneliti yang berupaya mencari obat AIDS menyatakan: terinspirasi dan bukan kecewa, menyikapi laporan dua pasien HIV yang diyakini sembuh, ternyata kembali diserang virus mematikan itu.

https://p.dw.com/p/1AknG
Foto: ANTONIO SCORZA/AFP/Getty Images

Laporan terbaru menyebutkan, dua lelaki yang disebut sebagai 'pasien Boston' - yang mendapatkan transplantasi tulang sumsum dan tampak sembuh dari sergapan virus HIV penyebab AIDS - kembali kambuh dan harus menjalani perawatan antiretroviral lagi.

"Sebuah kemunduran bagi pasien, tentu, namun ini kemajuan bagi penelitian, karena sekarang kami mendapatkan lebih banyak pengetahuan," ungkap Steven Deeks, seorang profesor dan pakar HIV dari Universitas California, San Francisco (UCSF).

Ia dan sejumlah pakar lainnya mengatakan, pesan utama yang bisa diambil dari kasus itu adalah, tes-tes yang saat ini didesain untuk mendeteksi kehadiran HIV pada level terendah dalam tubuh ternyata belum cukup sensitif.

Masih terlalu dini

Selain terjangkit virus imunodifisiensi manusia (HIV), kedua pasien Boston juga mengidap jenis kanker darah limfoma, yang mendorong mereka mendapatkan transplantasi tulang sumsum - satu pasien pada tahun 2008 dan pasien lainnya tahun 2010.

Mereka terus mengonsumsi obat antiretroviral, namun 8 bulan setelah transplantasi, dokter tidak dapat lagi mendeteksi tanda-tanda keberadaan HIV dalam darah pasien.

Sharon Lewin: HIV harus diserang dengan dua cara sekaligus
Sharon Lewin: HIV harus diserang dengan dua cara sekaligusFoto: Sharon Lewin Alfred Hospital 2013

Sejak awal 2013 mereka tidak lagi mengonsumsi obat. Bulan Agustus, salah satu pasien menunjukkan pertanda HIV telah kembali menyerang, sementara pasien satu lagi memperlihatkan gejala yang sama bulan November.

Timothy Henrich, salah satu dokter yang merawat pasien Boston, mengatakan kembalinya virus menggarisbawahi betapa cerdik HIV, sehingga dapat bersembunyi dalam tubuh untuk menghindari serangan sistem kekebalan tubuh dan perawatan obat.

"Melalui riset ini kami menemukan bahwa jangkauan HIV lebih dalam dan gigih dari yang sebelumnya diperkirakan, dan standar deteksi HIV yang ada saat ini mungkin belum cukup," katanya, seraya menambahkan bahwa kedua pasien "berada dalam keadaan sehat dan kembali menjalani terapi antiretroviral."

Belajar dari kegagalan

Tak sampai satu dekade lalu, sedikit peneliti penyakit menurunnya kekebalan tubuh yang berani menaruh kata HIV dan penyembuhan pada kalimat yang sama. Namun sejumlah kasus dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan, banyak ilmuwan makin meyakini, hanya masalah waktu sampai obat HIV ditemukan.

Sharon Lewin, seorang pakar HIV dari Universitas Monash di Australia, menilai semua perkembangan ini telah menginspirasi kalangan ilmuwan untuk menyelidiki pendekatan yang berbeda-beda demi menemukan obat HIV.

Para periset kini lebih meyakini, pendekatan dua arah, yakni menekan kuat perkembangan virus sekaligus meningkatkan sistem kekebalan tubuh, merupakan jalan yang terbaik untuk mencapai kemajuan.

"Kami harus menyerang dengan dua cara - menekan virus ke level terendah dan juga membantu meningkatkan respon imunitas. Kami tidak dapat melakukan yang satu tanpa yang lain," ungkap Lewin. "Jadi kami masih harus memikirkan cara kreatif lainnya untuk mengontrol HIV. Dan sekarang masih tahap awal sekali. Kami belum belum bisa mengatakan pendekatan mana saja yang terbaik."

cp/as (rtr, afp)