1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Baiatkan Kesetiaan, Pangeran Hamzah Akhiri Krisis Yordania

6 April 2021

Mediasi antara Raja Abdullah II, dan saudara tirinya, Hamzah, berhasil meredakan krisis politik di Yordania. Sang pangeran sebelumnya dituduh merencanakan makar dan dijebloskan ke dalam tahanan rumah.

https://p.dw.com/p/3rc7h
Jordanien Prinz Hamzah al-Hussein 2012
Foto: xinhua/imago images

Solusi atas pertikaian sengit di keluarga kerajaan Yordania disepakati, setelah paman Abdullah II, Hassan, bertemu dengan Pangeran Hamzah pada Senin (5/4). Mediasi yang dilakukan di kediaman sang paman itu turut dihadiri saudara kandung Hamzah, Hashem dan tiga sepupunya.

"Menimbang perkembangan dalam dua hari terakhir, saya menyatakan kesetiaan terhadap paduka raja,” demikian bunyi pernyataan tertulis yang ditandatangani Hamzah. Pangeran berusia 41 tahun itu mengaku akan tetap loyal pada kerajaan dan konstitusi Yordania.

Abdullah II sebelumnya menjebloskan Hamzah ke dalam tahanan rumah. Dia dituduh berkomplot dengan kekuatan asing untuk mengacaukan situasi Yordania. Namun Hamzah bersikeras dia hanya ingin melawan praktik korupsi di tubuh pemerintahan.

Malik R. Dahlan, mediator professional yang dekat dengan keluarga kerajaan, menerbitkan pernyataan terpisah yang menuduh ketegangan dipicu oleh pejabat pemerintah. "Insiden yang disesalkan ini adalah hasil dari tindakan ceroboh seorang pejabat tinggi dan kesalahpahaman oleh pemerintah,” tulisnya sebelum menambakan, bahwa perselisihan itu "seharusnya diselesaikan dengan cara kekeluargaan.”

Dua pewaris tahta

Abdullah dan Hamzah adalah putra mendiang Raja Hussein dari istri yang berbeda. Selama hidupnya, Hussein sering memuji Hamzah di depan publik, dan berniat menjadikannya putra mahkota. 

Tapi jelang kematiannya pada 1999, sang raja mengubah sikap dan menunjuk putra pertamanya, Abdullah II, sebagai pewaris tahta. Hamzah yang saat itu berusia 19 tahun dianggap terlalu muda untuk menjadi raja. 

Raja Abdullah II
Raja Abdullah IIFoto: Philipp von Ditfurth/dpa/picture alliance

Demi menghormati keinginan sang ayah, Abdullah mengangkat Hamzah sebagai putra mahkota ketika naik tahta. Tapi lima tahun kemudian dia meralat janjinya dan memindahkan status putra mahkota dari Hamzah ke putranya sendiri, Hussein.

Hamzah lalu pergi ke Inggris untuk menjalani pendidikan, hingga lulus dari sebuah akademi militer di Sandhurst. Sebelum pulang dan bekerja sebagai pilot tempur, dia menyempatkan mengambil gelar akademi tambahan di Universitas Harvard, AS.

Militer khawatirkan makar

Sejak beberapa tahun terakhir Hamzah kerap dikabarkan menjalin hubungan erat dengat sejumlah suku-suku berpengaruh di Yordania. Menurut laporan Arab News, dia belakangan rutin berkunjung ke suku Huwaitat, Bani Sakher, Majali dan Bani Hamida. 

Yordania Mulai Berjuang Atasi Dampak Perubahan Iklim

Kedekataan itu dinilai mengkhawatirkan, karena sistem politik Yordania yang didominasi oleh asas tribalisme. Kebanyakan penduduk merupakan anggota salah satu klan atau suku tertentu. Mereka teroganisir secara rapih dan turut mengemban fungsi sosial. Klan dan suku paling berpengaruh juga ikut menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan atau militer dan kepolisian. Mereka adalah basis kekuasaan Raja Abdullah II.

Sebelum ditangkap, Hamzah dikabarkan bersitegang dengan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Yousef Huneiti. Dalam rekaman pembicaraan yang diterima Middle East Eye, Huneiti mengaku menyampaikan pesan dari militer, kepolisian dan dinas rahasia.

Dia mengatakan dinas intelijen mengkhawatirkan kedekatannya dengan anggota suku yang berulangkali bersuara kritis terhadap keluarga kerajaan, termasuk putra mahkota Pangeran Hussein bin Abdullah. Huneiti meminta agar Hamzah berhenti berhubungan dengan suku-suku  di Yordania itu.

Atas permintaan itu, Hamzah dikabarkan menuduh sang jendral melecehkan kehormatan kerajaan dan memintanya pergi.

rzn/as (rtr, ap, mme)