1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Darimana Hasrat Seksual Pedofil Berasal?

Frank Hajasch21 Mei 2014

Perilaku pedofilia dianggap sebagai kejatan di hampir semua negara. Namun tidak jelas kenapa sang pelaku bisa mengembangkan orientasi seksual kepada anak-anak. Ilmuwan Jerman berupaya menelusuri penyebabnya.

https://p.dw.com/p/1C3rl
Gehirngrafik
Foto: Fotolia/James Steidl

Sekelompok ilmuwan lintas institusi menyelidiki penyebab prilaku pedofil. Kendati beragam hasil penelitian sudah dipublikasikan terkait perilaku menyimpang itu, hingga kini ilmuwan belum berhasil menguak fungsi otak seorang pedofil, kata Pakar Psikologi dan Psikoterapi Jerman, Jorge Ponseti.

"MRT membuka jalan untuk mempelajari aktivitas dan struktur otak. Yang menyenangkan adalah kami tidak harus membedah kepala pelaku," katanya. Penggunaan MRT serta merta menggandakan temuan terkait prilaku seorang pedofil.

Pakar medis misalnya menyusun karakter yang mengarah pada pelaku kejahatan seksual. "Pedofil biasanya menunjukkan penyimpangan dalam Neuropsikologi," kata Ponseti. "Tingkat intelegensia-nya kira-kira lebih rendah delapan persen ketimbang rata-rata."

"Yang menarik adalah usia korban berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan pelaku," imbuhnya lagi. Jadi semakin bodoh seorang pelaku, semakin muda juga usia anak di bawah umur yang menjadi korbannya.

Selain itu temuan terbaru membuktikan, pedofil cendrung memiliki tubuh yang lebih pendek ketimbang rata-rata penduduk. Ilmuwan Kanada juga melaporkan, pedofil mengalami cedera kepala dua kali lipat lebih banyak ketimbang anak-anak pada umumnya.

Penyakit atau Orientasi Seksual?

Kendati "tidak semua pedofil lantas menjadi pemerkosa anak-anak," Ponseti mengaku pihaknya kesulitan membuat perbedaan ilmuah terkait potensi tindak kriminal di antara pedofil. Banyak yang tidak tahu, dunia kesehatan seksual selama ini menilai pedofilia sebagai gangguan mental.

Tapi hal itu cuma berlaku jika sang pedofil menyebabkan kerugian pada orang lain. "Menurut sistem klasifikasi psikologi Amerika, gangguan pedofilia cuma berlaku jika seseorang memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak dan menjalaninya," kata Ponseti.

"Tapi jika sesorang cuma memiliki hasrat belaka tanpa lantas menjadi pelaku, kita bisa menyebutnya sebagai orientasi seksual."

Pria Pedofil dan Pria Sehat

Temuan tersebut kini dipublikasikan oleh Ponseti dan timnya di jurnal limiah"Biology Letters" milik Royal Society, Inggris. Studi itu juga mengungkap perbedaan wajah antara pedofil dan pria sehat. "Otak manusia memiliki mekanisme yang bisa membedakan usia seseorang pada wajahnya dan mengaktivkan berbagai model perilaku," kata Ponseti.

Tiga tahum silam ilmuwan sejatinya sudah membuat studi serupa di Pusat Neurologi Universitas Kiel. Di sana mereka mempelajari gambar wajah proband yang terangsang secara seksual. Data yag dikumpulkan juga memuat citra wilayah otak yang aktif ketika empunya merasakan rangsangan seksual.

"Di wilayah korteks otak besar, terjadi analisa visual jika seorang pria hetero melihat perempuan yang berusia sama. Area yang sama juga akan aktif jika pelaku pedofilia melihat anak-anak yang sedang telanjang," imbuhnya.

Kendati begitu Ponseti enggan menyebut hasil studinya sudah sempurna. "Kalau kami bisa mempelajari darah dan menjalankan analisa Neurotransmitter dan Genetika, mungkin hasilnya akan lebih lengkap," ujarnya. Karena cuma mengandalkan data MRT, ilmuwan cuma bisa mengenali pria pedofil, tapi tidak mengungkap sebab di balik perilaku tersebut.