1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dari Ahok ke Trump

28 November 2016

Mulai dari media sosial sampai di warung-warung, diskusi tentang Ahok dan Donald Trump jadi santapan sehari-hari. Bagaimana menyikapinya? Berikut opini Andibachtiar Yusuf.

https://p.dw.com/p/2TMRQ
Indonesien Jakarta Demonstration von Islamisten
Foto: REUTERS/I. Rinaldi

"Saya ke pasar pakai perempuan atau saya ke pasar perempuan?” tanya saya pada seorang kawan yang terus memberi ilustrasi perbedaan sebuah kata jika diberi imbuhan—mana ada imbuhan berbentuk kata—‘pakai' dengan tanpa kata itu. Ia cengengesan mendengar pilihan contoh kalimat saya, padahal saya sangat serius bertanya padanya tentang mana yang lebih sesuai ‘pasar pakai perempuan' atau ‘pasar perempuan'?

Inilah obrolan mutakhir yang bersliweran di jalanan sampai media sosial di tanah air saya. Semua orang mendadak menjadi ahli bahasa dan selalu mendiskusikan makna dari kalimat yang diucapkan Gubernur Jakarta saat ini, Basuki Purnama alias Ahok yang kini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama.

Penulis: Andibachtiar Yusuf
Penulis: Andibachtiar Yusuf Foto: Andibachtiar Yusuf

Kalimat yang diawali dengan seruan Ahok untuk warga Kepulauan Seribu agar tidak khawatir jika nanti ia tak lagi menjabat menjadi Gubernur Jakarta nyatanya kemudian berbuntut panjang. Singgungan kalimatnya pada surat Al Maidah ayat 51 yang berasal dari Al Qur'an berbuntut dirinya tak hanya menjadi sasaran amarah beberapa kalangan, tetapi menjadi bahasan panas dalam beberapa minggu.

Orang tak lagi sekedar membahas kepantasan pak gubernur menyebut Al Maidah ayat 51 dalam sebuah forum, tetapi melangkah lebih jauh lagi dengan segala spekulasi ala agen rahasia CIA di film-film Hollywood, apakah ucapan di video itu telah diedit sedemikian rupa atau tidak. Kini sang pengedit video, Buni Yani pun telah ditetapkan sebagai tersangka.

Bahasan melintasi segala semesta, mulai dari kepantasan seorang pemimpin propinsi yang selalu berapi-api, etnisnya yang di negeri ini pernah "dikucilkan” oleh sebuah rezim mematikan pada suatu masa, sampai tata bahasa struktur kalimat, anak kalimat sampai kosakata terkini.

Banyak kata dipakai dengan salah kaprah

Mendadak semua orang jadi ahli bahasa. Padahal membedakan mana lebih benar ‘mengubah' atau ‘berubah', ‘mengkonsumsi' atau ‘mengonsumsi' saja masih terus terbolak-balik. Mendadak bangsa saya yang besar ini jadi ahli agama semua dan seolah percaya bahwa negara ini adalah negara berdasarkan agama dan pemimpinnya haruslah sesuai dengan agama mayoritas.

Diskusi tingkat dewa terjadi dimanapun, mulai dari kabin supir taksi, warung kopi sampai pemutusan hubungan pertemanan di laman-laman media sosial. Semua karena satu hal: karena Ahok memakai kata ‘pakai' atau tidak? Apakah Ahok menistakan agama orang atau tidak? Apakah seseorang layak berbicara tentang agama lain yang mungkin hanya ia pahami kulit luarnya.

Situasi intelek ini pun semakin berkembang saat Donald Trump secara meyakinkan mampu memenangkan pemilihan presiden di Amerika Serikat. Indonesia terhentak saat orang yang mereka anggap sebagai musuh kaum minoritas di negeri Paman Sam ini ternyata bisa terpilih sebagai presiden di negara adidaya tersebut. Padahal apa lebihnya kemenangan si orang kaya keturunan imigran Jerman ini?

Sejak masih di tingkat partainya, ia terus mampu memenangkan pilihan demi pilihan. Lalu ketika ia berhadapan satu lawan satu dengan Hillary Clinton, bagi saya tak ada yang istimewa dari kemenangannya. Yang ada, kita terlalu merasa bahwa apa yang kita pikirkan sama dengan yang dipikirkan bangsa Amerika sana.

Bangsa saya mungkin terlalu besar, sampai lupa bahwa di Amerika Serikat orang tak pernah setia pada pilihannya sendiri. Mereka bisa bosan pada Partai Demokrat lalu akan pindah ke Partai Republik di pemilihan selanjutnya. Tak akan ada wajah mantan presiden mereka dari era silam terpajang lengkap dengan tulisan "Eisenhower, The Son of A Dawn” (Eisenhower, Putera Sang Fajar) misalnya. Atau "Bill Clinton, Voice of The Nation” (Bill Clinton, Penyambung Lidah Rakyat) Kesetiaan di sana berhenti pada kebijakan, kala Demokrat harus "menyerahkan” komando tertinggi negara pada satu-satunya lawan di tahun ini, berarti lebih banyak orang kecewa pada Obama ketimbang yang suka.

Jelas saya coba abaikan teori banyaknya orang tak memilih di negeri itu, tetapi di negeri dengan level demokrasi yang tinggi, tidak menggunakan hak pilih adalah juga hak azasi manusia, bukan justru dianggap sebagai warga yang tak bertanggung jawab.

Isu Donald Trump dan Ahok pun dengan cepat berhasil diunifikasikan oleh orang Indonesia. Mulai dari skenario jatuhnya peradaban Amerika Serikat di beberapa grup whatsapp yang saya ikuti, lengkap dengan kronologis pergerakan umat Muslim dan para imigran yang turun ke jalan menurunkan Trump, mematikan ekonomi dan menjatuhkan peradaban negeri itu, kemudian Indonesia pun muncul menggantikan keadidayaan Amerika Serikat seketika, seolah di Asia tak ada Jepang, Cina, Qatar atau di Eropa tak ada Jerman, Perancis atau Inggris.

Warga jadi rajin diskusi

Ahok dan Trump adalah dua sosok yang telah menaikkan harkat intelegensia bangsa Indonesia dengan serta merta. Dialog di warung kopi sampai media sosial tak lagi melulu soal sepakbola, perempuan atau duka lara kehidupan menjomblo. Dengan caranya masing-masing keduanya telah membantu bangsa ini untuk lebih rajin berdiskusi serta mencari literatur lebih banyak demi analisa dan argumen yang lebih baik.

Keduanya juga memberi gambaran yang sama tentang seperti apa mayoritas biasa memandang minoritas. Jika benar Trump sebegitu bencinya pada minoritas dan sebegitu menyebalkannya, saya kira mayoritas seperti saya dan teman-teman diskusi saya juga tak kalah menakutkannya di mata para minoritas di negeri ini. Bisa saja.

Penulis: Andibachtiar Yusuf(ap/vlz)

Filmmaker & Traveller

@andibachtiar

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.