1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikEropa

Krisis Ukraina: Akankah Cina Tetap Dukung Rusia?

Hans Spross
26 Februari 2022

Cina dalam diplomasinya mengakui "integritas teritorial" Ukraina, tetapi sejauh ini menolak untuk menyebut invasi Rusia apa adanya. Beijing bisa segera dipaksa untuk membuat keputusan yang tidak nyaman.

https://p.dw.com/p/47dyd
Pertemuan virtual Presiden Cina Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin
Rusia dan Cina menjalin hubungan yang erat, namun perkembangan di Ukraina membuat Beijing hadapi dilemaFoto: Mikhail Metzel/AP Photo/picture alliance

Saat KTT Keamanan München berlangsung pekan lalu, Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi mengatakan "norma mendasar" dari hubungan internasional mencakup penghormatan terhadap "kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial" negara mana pun, termasuk Ukraina.

Beberapa hari setelah pidato Wang Yi, Rusia meluncurkan invasi skala penuh ke Ukraina melalui jalur darat, udara dan laut, dari tiga arah, dan menggenapi apa yang telah diprediksi oleh dinas intelijen Barat selama beberapa bulan terakhir.

Dalam konferensi pers hari Kamis (24/02), juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Hua Chunying mengkritik para wartawan yang menggunakan kata "invasi" sebagai metode pertanyaan "khas Barat".

Ketika roket Rusia menghantam kota-kota Ukraina, Hua kembali mengulangi apa yang menjadi tanggapan standar Cina terhadap konflik tersebut, dan menyerukan "semua pihak agar menahan diri demi mencegah situasi menjadi tidak terkendali."

Pada hari itu juga, di Twitter, Hua mengklaim bahwa Cina mendukung "keadilan dan perdamaian," seraya menambahkan bahwa banyak negara yang "menyelesaikan perselisihan internasional secara damai sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam PBB."

Beijing menyadari bahwa Piagam PBB melarang penggunaan kekuatan senjata dalam hubungan internasional kecuali dalam kasus pembelaan diri.

Diplomasi permainan kata ala Cina

Apakah Kementerian Luar Negeri Cina memberi petunjuk tidak langsung kepada Moskow agar membatalkan invasi, meski Beijing tidak ingin menggunakan istilah itu?

Tampaknya tidak. Besar kemungkinan Beijing akan terus berusaha menerapkan retorika yang meyakinkan dunia bahwa Cina adalah negara yang cinta damai, sementara pada saat yang sama diam-diam mendukung Putin dengan menuduh AS sebagai penghasut perang, pakar Cina Didi Kirsten Tatlow, dari Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman, menjelaskan kepada DW.

Retorika damai Cina akan kurang efektif kecuali Beijing mengambil "tindakan nyata dan secara terbuka di publik" untuk menentang agresi Rusia di Ukraina, katanya.

Ujian terhadap posisi yang siap diambil Cina akan terlihat selama pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB pada hari Jumat (25/02) saat memberikan suara pada resolusi pimpinan AS yang mengutuk agresi Rusia di Ukraina.

Jika Cina abstain, seperti yang diharapkan, dukungan diam-diamnya terhadap Moskow "akan menjadi lebih jelas," kata Tatlow.

Mungkinkah Cina bersekutu dengan AS?

Presiden "Xi Jinping jelas tidak tertarik untuk bergabung dengan AS," tambah Tatlow. "Dia dan Partai Komunis Cina secara terbuka menolak demokrasi. Tidak masuk akal untuk mengharapkan dia mengubah posisinya secara fundamental. Dia akan melihat itu sebagai 'menjual' Cina," katanya.

"Mungkin jika situasinya berkembang sangat negatif bagi Cina, dia mungkin mengubah posisinya," kata Tatlow, "tetapi kita belum dapat mengetahuinya."

Utusan Cina untuk PBB, Zhang Jun, mengatakan pada hari Kamis (24/02) bahwa "pintu menuju solusi damai belum sepenuhnya tertutup." Sehari setelah itu, pihak berwenang Ukraina melaporkan lebih dari 130 orang tewas pada hari pertama invasi.

Cina hadapi dilema

Bertahun-tahun di bawah pemerintahan Xi, Cina berupaya untuk menampilkan sistemnya sebagai alternatif dari model tatanan internasional yang dipimpin Barat.

Tatlow mengatakan Cina berada pada posisi yang sulit – dipaksa untuk memilih antara mendukung mitra Rusianya dalam mengubah tatanan internasional dan menderita akibat reputasinya yang rusak secara besar-besaran dengan berpihak kepada negara yang menyerang negara berdaulat.

Demonstrasi anti-perang di St. Petersburg, Rusia
Warga menggelar demonstrasi anti-perang di St. Petersburg, RusiaFoto: ANTON VAGANOV/REUTERS

"Hari-hari dan minggu-minggu mendatang akan menunjukkan apa yang dipilih Cina dan apakah ia dapat menentukan posisinya di antara dua kutub, yang memungkinkannya untuk menyelamatkan muka tetapi juga tetap berteman dengan Rusia," katanya.

Apa yang diketahui Xi selama bertemu Putin?

Tanggal 4 Februari lalu, Xi dan Putin bertemu saat pembukaan Olimpiade di Beijing dan secara bersama memberi penyataan, yang antara lain mengutuk ekspansi NATO ke arah timur.

Setelah serangan skala penuh pekan ini di Ukraina, Kementerian Luar Negeri Cina ditanya apakah Xi sebelumnya sudah tahu tentang rencana Putin untuk meluncurkan invasi.

Juru bicara Hua mengatakan Rusia adalah kekuatan independen yang tidak perlu mencari persetujuan dari Cina.

"Itu secara independen memutuskan dan menerapkan diplomasi dan strateginya sesuai dengan penilaian dan kepentingan strategisnya sendiri," katanya.

Tatlow mengatakan Xi pasti memiliki beberapa gagasan tentang apa yang mungkin terjadi.

"Kami tidak tahu seberapa banyak yang diketahui Xi pada 4 Februari, ketika dia dan Putin mengeluarkan pernyataan di Beijing tentang 'awal era baru' dan 'kerja sama tanpa batas'," kata Tatlow.

"Mungkin dia meremehkan Putin. Tapi sulit membayangkan bahwa Beijing kurang mendapat informasi, atau setidaknya tidak mempertimbangkan kemungkinan itu," tambahnya.

Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman mencatat pada sebuah panel pada akhir Januari bahwa invasi ke Ukraina sebelum dimulainya Olimpiade Musim Dingin "mungkin tidak akan disambut dengan antusias" oleh Xi.

Sherman mengatakan itu bisa menjadi pertimbangan "bahwa Putin mempertimbangkan hal itu dalam jadwalnya untuk tindakan lebih lanjut terhadap Ukraina."

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Jerman

Ed: ts/yp