1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Bencana

BMKG "Meraba dalam Gelap" Soal Peringatan Tsunami

5 April 2018

Kerumitan birokrasi perlahan menanggalkan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia. Tanpa perangkat pendeteksi gelombang tinggi, BMKG harus mengandalkan model komputer buat memprediksi tsunami.

https://p.dw.com/p/2vXxV
Buoy alias perangkat pendeteksi gelombang tinggi
Buoy alias perangkat pendeteksi gelombang tinggiFoto: Fraunhofer IWES/Caspar Sessler

Prediksi Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tentang ancaman gelombang Tsunami setinggi 54 meter di Pandeglang sempat memicu kegaduhan. BPPT sampai memberikan klarifikasi, bahwa prediksi tersebut berasal dari pemodelan ilmiah gelombang tsunami dan tidak selayaknya dijadikan bahan berita buat menebar ketakutan.

Kini lembaga pengawal teknologi Indonesia itu memberikan peringatan lain terkait kesiapan sistem peringatan dini bahaya tsunami. "Di Indonesia sampai saat ini tidak ada buoy sama sekali," kata Iyan Turyana, pakar teknik kelautan di Laboratorium Otomasi BPPT, kepada DW. Sebanyak 22 perangkat pendeteksi tsunami yang dimiliki Indonesia pasca tragedi Aceh 2004 saat ini telah rusak akibat vandalisme atau hilang tak berbekas.

Meski tidak lagi memiliki pendeteksi tsunami di laut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) masih bisa memberikan peringatan bahaya melalui data seismometer yang bisa memastikan waktu kejadian gempa, lokasi gempa, kekuatan gempa, dan kedalaman gempa secara akurat. Semua data tersebut diolah melalui modeling komputer untuk membuat prediksi.

Namun Iyan menegaskan buoy penting untuk "memberikan konfirmasi," apakah prediksi tsunami pasca gempa bisa dianggap serius atau tidak. "Jadi seperti meraba dalam gelap," imbuhnya. "BMKG sudah teriak-teriak meminta agar alat pendeteksi dini dipasang," kata Iyan.

Kepada Kompas, Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan kelengkapan alat dapat memberikan prediksi yang lebih akurat.

"Karena semakin lengkap instrumen untuk mengatakan bahwa gempa ini potensi tsunami. Kalau buoy di tengah laut. Kalau tide gauge tsunami sudah di pantai. Kami lebih yakin memberikan warning tsunami dan menyalakan sirine sebagai perintah evakuasi itu lebih mantap,” kata dia.

Menurut Iyan, akar permasalahan bukan pada kerumitan teknologi buoy atau biaya pengadaan, melainkan ketidakjelasan soal siapa yang berwenang membiayai pengadaan sistem pendeteksi tersebut. Istana negara saat ini dikabarkan tengah menyiapkan Instruksi Presiden buat memperjelas kewenangan operasi dan pembiayaan sistem peringatan dini tsunami.

"Memang cukup terlambat, tapi lebih baik telat daripada tidak", kata Iyan.

rzn/yf (mongabay, kompas, tirto, kumparan)