1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikGlobal

Biden Tuding Putin Lakukan Genosida di Ukraina

13 April 2022

Presiden AS Joe Biden menuduh pasukan Rusia melakukan "genosida", tetapi mengklarifikasi bahwa hal itu tergantung kepada pengacara internasional untuk menentukan tindakan Rusia di Ukraina tersebut.

https://p.dw.com/p/49ryv
Presiden AS Joe Biden
Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa Putin mencoba untuk "menghapus gagasan bahkan untuk bisa menjadi seorang Ukraina."Foto: Carolyn Kaster/AP/picture alliance

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada hari Selasa (12/04), untuk pertama kalinya menyebut pasukan Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan genosida di Ukraina. Ia mengatakan bahwa Putin mencoba untuk "menghapus gagasan bahkan untuk bisa menjadi seorang Ukraina."

"Ya, saya menyebutnya genosida," tuturnya, dikutip dari Associated Press.

Hal ini ia sampaikan dalam pidatonya tentang melonjaknya harga BBM di AS. Biden mengatakan kemampuan orang Amerika untuk membeli BBM tidak boleh bergantung pada apakah "seorang diktator menyatakan perang dan melakukan genosida di belahan dunia lain."

Setelah ditekan tentang penggunaan istilah itu oleh awak media, Biden mengklarifikasi bahwa hal itu tergantung kepada pengadilan untuk menentukan apakah tindakan Rusia di Ukraina - di mana ia dituduh melakukan kekejaman terhadap warga sipil - merupakan genosida. Dia menambahkan bahwa "buktinya semakin banyak."

"Kami akan membiarkan pengacara memutuskan secara internasional apakah itu memenuhi syarat atau tidak, tetapi tampaknya seperti itu (memenuhi syarat genosida) bagi saya," katanya. "Lebih banyak bukti muncul dari hal-hal mengerikan yang dilakukan Rusia di Ukraina."

Di bawah hukum internasional, genosida didefinisikan sebagai niat untuk menghancurkan — secara keseluruhan atau sebagian — suatu kelompok nasional, etnis, ras atau, agama.

Sejak akhir Perang Dingin, Departemen Luar Negeri AS secara resmi menggunakan istilah "genosida" sebanyak tujuh kali. Sebelumnya, Biden menyebut Putin sebagai "penjahat perang" di tengah kemarahan global dan memintanya untuk diadili atas dugaan kekejaman tersebut. Washington juga telah berulang kali menggambarkan kekejaman Rusia terhadap Ukraina sebagai "kejahatan perang."

AS siap kirim senjata ke Ukraina

Dilansir kantor berita Reuters, dua pejabat AS mengatakan bahwa pemerintah AS diperkirakan akan mengumumkan bantuan militer untuk Ukraina pada hari Rabu (13/04) ini.

Dikatakan bahwa AS akan mengirim senjata senilai US$750 juta (Rp10,5 triliun) untuk Ukraina berperang melawan pasukan Rusia. Pengadaan senjata tersebut akan didanai menggunakan Otoritas Penarikan Presiden (PDA) yang memungkinkan Presiden AS untuk mentransfer artikel dan layanan dari saham AS tanpa persetujuan dari Kongres dalam menanggapi keadaan darurat.

Salah satu pejabat mengatakan penentuan akhir masih dibuat tentang komposisi senjata.

Seorang penasihat senior kongres mengatakan bantuan senjata yang akan diumumkan kemungkinan akan mencakup sistem artileri darat berat ke Ukraina, termasuk howitzer.

Putin: Operasi militer di Ukraina akan terus berlanjut

Presiden Rusia Vladimir Putin dalam komentar publiknya mengatakan bahwa operasi militer Rusia di Ukraina berjalan sesuai rencana. Ia memperingatkan bahwa serangan yang dilancarkan ke tetangganya itu tak akan berakhir sampai Moskow berhasil. Hal tersebut ia sampaikan dalam kunjungannya ke fasilitas peluncuran ruang angkasa di Kosmodrom Vostochny di Rusia timur, Selasa (12/04).

''Operasi ini akan berlanjut hingga benar-benar selesai dan memenuhi tugas yang telah ditetapkan,'' katanya.

Lebih lanjut, Putin membantah tuduhan bahwa pasukan Rusia bertanggung jawab atas pembunuhan warga sipil di Bucha dengan menyebut kasus itu sebagai "palsu." 

Putin juga menambahkan bahwa pembicaraan damai antara kedua negara menemui jalan buntu. "Artinya, kami kembali ke jalan buntu untuk diri sendiri dan untuk semua," pungkas Putin.

Serangan Rusia ke Ukraina telah terjadi sejak 24 Februari lalu.

Rusia enggan menyebut invasi mereka sebagai perang, tetapi menyebutnya sebagai "operasi militer khusus" untuk demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina. Ukraina dan sebagian besar dunia telah mengutuk istilah itu sebagai dalih palsu untuk invasi ke negara demokratis.

rap/ha (AP, AFP, Reuters, dpa)