1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

090710 Srebrenica UN

9 Juli 2010

Pembunuhan massal lelaki Muslim di Srebrenica tahun 1995 merupakan kasus genosida terparah di Eropa setelah Perang Dunia kedua. Sampai kini masih banyak pertanyaan terbuka.

https://p.dw.com/p/OFXh
Foto: AP

Dari 275 kuburan masal yang dibongkar di Drina-Tal beberapa tahun terakhir ini, ditemukan sisa-sisa dari 8.372 jenazah korban pembunuhan massal di Srebrenica. Kini sudah 6.557 orang yang teridentifikasi. Namun sebetulnya, jumlah warga sipil Muslim yang tewas di Srebenica dan desa-desa sekitarnya lebih tinggi lagi, karena banyak korban yang tercatat hilang.

Pada 11 Juli 1995 pasukan Serbia menyerbu kota Srebrenica, yang sudah dinyatakan sebagai zona aman oleh PBB. Pasukan itu kemudian mengumpulkan para lelaki Muslim antara usia 12 hingga 80 tahun, lalu membunuhnya. Tentara PBB di tempat, yang oleh sekitar 40 ribu warga beragama Islam diyakini akan melindungi mereka, tidak berbuat apa-apa untuk menghalangi pembantaian itu.

Apa yang sebenarnya terjadi di Srebenica 15 tahun silam, sampai kini belum bisa diterangkan. Menurut Mayor Jendral Bundeswehr Jerman, Manfred Eisele, penyelidikannya sulit dituntaskan. Eisele bertanggung jawab atas perencanaan operasi damai PBB dari tahun 1994-1998. Ia mengatakan, ada banyak negara yang memperanguhi jalan peristiwa dari balik layar. Keputusan di tingkat pemerintahan kemudian direalisasi oleh para diplomat dan jendral yang bertugas di wilayah Yugoslavia yang sudah terpecah belah itu. Namun usai perang, mereka tidak bisa menyatakan pendapatnya mengenai laporan PBB, juga tidak diizinkan memberi kesaksian.

Eisele menilai, faktor sejarah sangat mempengaruhi sikap negara-negara Eropa dalam konflik Yugoslawia dan perang Bosnia. Tuturnya, "Konflik Balkan yang mencuat di awal abad ke 20, merupakan isu penting di banyak ibukota negara-negara Eropa. Dan apa yang terjadi pada tahun 1995 itu, dipengaruhi oleh sikap yang sudah tertanam sejak 1914“. Jenderal Eisele meragukan bahwa negara-negara dalam Dewan Keamanan PBB saat itu betul-betul bertekad untuk melindungi 40 ribu warga muslim sipil yang berada di zona Srebrenica.

Hal ini dikukuhkan oleh hasil penelitian seorang jurnalis Belanda, Huub Jaspers, yang menemukan bahwa DK PBB sudah memiliki informasi mengenai rencana pembunuhan massal itu sebelum Srebrenica diserang. "Dewan Keamanan pada dasarnya bertanggung jawab penuh atas peristiwa berdarah itu. Negara anggotanya telah menerima informasi dari dinas intelijen mengenai apa yang sedang direncanakan. Tapi mereka tidak melalukan apa-apa dengan informasi itu. Tidak berusaha agar peristiwa itu terhindari“, begitu tuding Jaspers.

Tapi mengapa? Pertanyaan itu sampai kini belum terjawab. Ada apa dibalik semua ini?

Kini tanggung jawab atas terjadinya peristiwa berdarah itu disorong ke pemerintah Belanda. Alasannya, ketika Dewan Keamanan mengusulkan, serangan udara terhadap pasukan Serbia, Belanda mengintervensi. Belanda mencemaskan nasib 450 tentaranya yang bertanggung jawab atsa keamanan di sana. PBB membatalkan serangan udara. Pembunuhan massal itu terjadi, dan pasukan helm biru PBB hanya menonton.

Axel Hagedorn, pengacara bagi 8000 korban hidup peristiwa itu berusaha agar imunitas yang dimiliki PBB dihapus. Seandainya berhasil, ia yakin bahwa PBB tidak bisa selamanya menyalahkan Belanda. PBB akan harus bertanggung jawab, dan paling sedikit meminta maaf atas tidak dipenuhinya janji untuk melindungi warga. Permintaan maaf yang tak kunjung datang baik dari PBB maupun dari pemerintah Belanda merupakan trauma tersendiri bagi penduduk Srebrenica.

Srebrenica dan desa-desa sekitarnya mengalami pembersihan etnis. Kini tak lebih dari 5 % penduduknya beragama Islam. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang mencari anggota keluarganya. Banyak di antara mereka melarikan diri ke luar negei dan memohon suaka di Kanada, Selandia baru dan Amerika Serikat. Sementara, Ratko Mladić, Jendral pasukan Serbia yang melakukan pembunuhan massal itu sampai kini masih buron.

Selma Filipovic / Edith Koesoemawiria
Editor : Hendra Pasuhuk