1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bandung Bondowoso

Andibachtiar Yusuf22 Agustus 2014

Sepakbola bukan sesuatu yang bisa dibangun dalam semalam. Pengamat Andibachtiar Yusuf menyampaikan catatan kritis terkait "histeria" atas Timnas Indonesia U-19.

https://p.dw.com/p/1CzDx
Foto: picture-alliance/ASA

“Mustinya U19 aja ni yang dikirim, maennya lebih bagus!” ujar seorang sekuriti di pusat perbelanjaan saat Indonesia sedang menghadapi serangan bertubi-tubi Arab Saudi di penyisihan Piala Asia 2015 Australia. Ucapan senada juga bisa dengan mudah ditemukan di segala penjuru Republik saat tim nasional kita level apapun sedang menghadapi lawan di pertandingan internasional. “Orang seolah menganggap bahwa tim ini adalah segalanya, generasi emas Sepakbola Indonesia,” keluh Anton Sanjoyo di laman facebooknya.

Setahun terakhir, bangsa Indonesia seolah diberi buaian tingkat tinggi pada diri Sepakbola kelompok umurnya. Apapun tindak tanduk dari remaja-remaja yang belum berusia 19 tahun ini adalah bahan berita tak terhingga. Mulai dari penyambutan kepulangan para pemain ke kampung masing-masing sampai ke berita sang pelatih yang kini telah menjadi icon penting Sepakbola nasional sekaligus memenangkan berbagai versi penghargaan Tokoh Berpengaruh sepanjang tahun.

Seperti itulah gairah besar pada Sepakbola yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Walau hanya level junior, tapi raihan gelar Asia Tenggara itu sudah bagaikan gelar juara dunia yang begitu dinantikan oleh bangsa Inggris yang juga penuh harap menanti kembalinya trofi Piala Dunia ke tanah Sepakbola. Kemenangan melawan Korea Selatan dibawah siraman hujan yang sungguh deras dan kondisi lapangan banjir terus dirayakan bahkan setelah tahun telah berganti. Pencapaian luar biasa yang mampu membuat bangsa ini kerap berkata “Korea sudah dikalahkan, siapa lagi yang tak bisa dikalahkan?” maklum saja, negeri ginseng adalah jawara di Asia 12 kali untuk level junior.

Maka disematkanlah label ‘generasi emas' sekaligus harapan besar Sepakbola kita bagai diletakkan di pundak remaja yang berasal dari berbagai daerah itu. Target pun dicanangkan “Tim ini akan diturunkan untuk Olimpiade 2016, memenangkan AFF 2016, ke SEA Games 2017 dan ke Piala Dunia 2018 di Rusia,” tandas Johar Arifin, Ketua Umum PSSI saat saya dan kawan saya Eko Priyono sedang menulis buku data skuad U19 kita ini.

Harapan sungguh besar, sama persis seperti ketika Piala Asia U19 AFC digelar di Jakarta tahun 1994. Remaja-remaja yang baru datang berlatih selama setahun di Italia itu diharapkan mampu merajai Asia, apalagi kompetisi primavera di Italia dianggap telah menempa mereka sekaligus menaikkan level Sepakbola tim ini. Tempik sorak diberikan habis-habisan saat mereka mampu menaklukkan Kazakhstan, sekedar backpass saja disambut sorak sorai, apalagi aksi Kurniawan Dwi Julianto yang memang mampu berlari kencang dan licik di areal pertahanan lawan.

Bima Sakti sang kapten sudah bagai sosok yang pantas masuk buku emas sejarah bangsa. Tendangan bebasnya yang keras dan sikapnya diatas lapangan diberi aplaus berkepanjangan oleh publik Gelora Bung Karno. Namun semua itu hilang begitu saja saat secara meyakinkan tim ini dihajar habis-habisan oleh Suriah yang memang terlihat lebih matang sekaligus tampil memukau tanpa perlu menghabiskan masa latihan satu tahun di Italia. Sorak sorai berubah jadi hujatan dan saat sang kapten gagal mengeksekusi penalti dilanjutkan dengan gol ketiga yang dilesakkan dengan sangat meyakinkan ke gawang Kurnia Sandy, maka sorak dukungan berubah menjadi lemparan botol ke arah bangku cadangan tim kita sendiri.

Harapan itu lalu sirna dan kita bagai kembali ke titik nol dan perlahan melupakan para pemain yang pernah sungguh dipuja ini. Satu persatu mereka menghilang, bahkan ada yang hanya berselang beberapa tahun sudah bekerja di sebuah stasiun tv, ada pula yang membuka warung ayam goreng sekaligus meninggalkan hiruk pikuk Sepakbola nasional.

Tanpa perlu melupakan aksi Boaz Solossa dkk yang tak pernah menang di Piala Asia U19 di Malaysia tahun 2004, kini bangsa kita meletakkan harapannya penuh sekaligus menyematkan label ‘generasi emas' pada 27 remaja yang sedang sibuk latih tanding di penjuru negeri di jeda waktu yang bisa hanya 2 hari saja antar pertandingan. Bangsa kita yang sungguh mencintai sekaligus menyaksikan Sepakbola itu bagai lupa bahwa tak ada tim sukses di dunia ini yang dibentuk dari sebuah Super Team yang terus berlatih sepanjang tahun entah di bumi atau di langit sekalipun.

Jerman menjadi juara dunia dan terus mampu masuk final Piala Dunia karena mereka memang menciptakan pembinaan berkesinambungan dengan kompetisi dari usia 9 tahun. Jepang memulai pelatihan Sepakbola pada usia dini, 4 tahun dan sudah menargetkan menjadi juara dunia di tahun 2050….dengan skuad yang saya yakini belum lahir di hari ini. Spanyol menggembleng bakat-bakatnya ber tiki-taka sejak para pemain itu masih berusia 9 tahun sekaligus terus dibina dalam kompetisi sampai akhirnya mereka bisa besar seperti sekarang.

Sementara itu ‘generasi emas' kita masih terus berkutat di pertandingan-pertandingan tanpa gengsi. Menghadapi lawan yang praktis berada di level bawah mereka, lalu saat menghadapi mereka di level yang sama, kekalahan demi kekalahan pun terjadi. Remaja-remaja itu mungkin jenuh pada latihan, latihan dan latihan, ujicoba, ujicoba dan ujicoba. Karena pada intinya olahraga adalah sikap berkompetisi dan itulah yang dibutuhkan. Lalu kita harus memahami juga bahwa tak ada sukses bisa diraih dalam satu malam….kecuali jika Anda bernama Sangkuriang, karena Bandung Bondowoso saja gagal membangun 1000 candinya dalam semalam.

Andibachtiar Yusuf

@andibachtiar

Filmmaker & Football Reverend