1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Peran Arab Saudi di Afghanistan?

5 Februari 2010

Arab Saudi memiliki banyak kepentingan di Afghanistan. Secara tradisionalpun memiliki hubungan baik dengan milisi Taliban. Kini negara kaya minyak itu diminta untuk berperan lagi sebagai mediator.

https://p.dw.com/p/Lu7D
Raja Arab Saudi AbdullahFoto: AP Graphics/DW

Melihat kebelakang, hubungan antara Arab Saudi dengan Taliban diwarnai sejumlah kebijakan yang bertentangan. Pemerintah Arab Saudi cukup lama mendukung kelompok Taliban, dan di tahun 90-an merupakan salah satu diantara tiga negara yang mengakui rejim Taliban. Akibatnya sulit untuk mengharapkan upaya negosiasi yang transparan.

"Arab Saudi bukan saja pernah mendukung perlawanan gerilya Taliban, melainkan mewakili dan mendukung perluasan filsafat Islam yang tak sesuai dengan pandangan Barat. Juga tidak cocok dengan kebijakan politik untuk Afghanistan, karena posisi Taliban justru mungkin diperkuat melalui proses ini,“ demikain pendapat Sebastians Sons dari Institut Timur Tengah Jerman di Berlin.

Perkembangan seperti itu akan fatal, karena yang ingin dicapai dalam dialog dengan Taliban itu adalah membangun ketertiban dan keamanan di Afghanistan. Sementara, sebuah sistim restriktif seperti yang ingin diterapkan sekelompok Taliban radikal, bukanlah yang diinginkan oleh Presiden Hamid Karsai ataupun negara-negara Barat yang mendukungnya.

Menurut Sons, amat penting bahwa Arab Saudi menjelaskan siapa dan kelompok mana yang akan menjadi mitra dialognya. Di bawah bendera Taliban ada banyak kelompok, yang memiliki pandangan politik maupun filsafat yang berbeda.

"Kelompok Taliban mana yang berbahaya? Lalu kita bisa bernegoiasi dengan kelompok yang mana saja? Belakangan ini pembicaraan mengenai kelompok Taliban yang moderat semakin sering terdengar, karena tentunya sangat sulit untuk bernegosiasi dengan pemimpin Taliban, yang terkait erat dengan Al Qaida. Juga bagi Arab Saudi,” ditambahkan Sebastian Sons.

Hubungan pemerintah Arab Saudi dengan Al Qaida dan Osama bin Laden memang buruk. Tahun 1991, pemerintah Saudi mengusir Bin Laden, seorang putra keluarga terpandang di negara itu, karena serangannya terhadap keluarga raja Saudi. Kemudian saat kunjungan Hamid Karsai (02/02) ke Arab Saudi, penguasa di Riyadh juga menegaskan bahwa keterlibatannya sebagai penengah hanya mungkin, apabila Taliban menyerahkan Osama bin Laden. Tuntutan ini bisa menjadi hambatan dalam dialog yang direncanakan.

Sebastian Sons juga melihat kemungkinan, bahwa Afghanistan digunakan sebagai pion dalam pertentangan Arab Saudi dengan Iran. “Ada konflik tradisional antara Arab Saudi dengan Iran, yang terjadi akibat persaingan kedua negara itu untuk memiliki pengaruh lebih besar di kawasan teluk.”

Meski begitu, menurut pakar politik dari Institut Timur Tengah Jerman ini, sekecil apapun peluang yang dicapai dengan melibatkan Arab Saudi merupakan kemajuan, yang tidak saja menguntungkan Afghanistan, melainkan negara-negara Barat.

Melanie Riedel/Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk