1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Bagaimana Orang-orang Memahami Hitler di Indonesia

7 Februari 2018

Apakah beberapa kalangan di Indonesia sudah sebegitu apatisnya terhadap sejarah dan kemanusiaan atau mereka memang melihat Hitler sebagai sosok sejarah yang layak untuk diberi simpati? Opini: Rahadian Rundjan

https://p.dw.com/p/2s4mH
Indonesia Nazi Display Adolf Hitler Wachsfigur
Foto: picture-alliance/AP Photo/S.Riyadi

Pada 2 Februari 1963, Benedict "Ben” Anderson muda, yang kelak namanya dikenal sebagai seorang pemikir politik dan Indonesianis terkemuka, kaget bukan kepalang ketika mendengarkan pidato Sukarno, yang disampaikannya di acara penganugerahan gelar doktor honoris causa kepada presiden pertama Indonesia tersebut, di Universitas Indonesia, Jakarta.

Dalam acara yang juga dihadiri oleh para duta besar Eropa tersebut, Sukarno menyampaikan dua topik favoritnya: kepemimpinan dan nasionalisme. Semua berjalan baik-baik saja sampai Sukarno menyinggung Adolf Hitler dan agenda nasionalismenya dengan nada yang menunjukkan kekaguman.

Rahadian Rundjan : Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Menurut Sukarno, Hitler memiliki kepintaran yang luar biasa dan mungkin telah memahami bahwa hal-hal materiil tidak menjamin seseorang akan berbahagia selamanya, dan karena itulah Hitler memperkenalkan Reich Ketiga (gagasan negara-bangsa Jerman berpilarkan pemerintahan fasisme Nazi). "Reich Ketiga ini akan benar-benar membawa kebahagiaan kepada orang-orang Jerman,” sebut Sukarno. Dan menurutnya, orang-orang Jerman-lah yang akan bertahta di atas orang-orang lain di dunia ini. Sukarno seakan mengungkapkan Reich Ketiga sebagai surganya kelompok nasionalis, dan tidak menghiraukan bagaimana cita-cita tersebut berakhir dengan tragedi kemanusiaan.

Ben menceritakan pengalaman tersebut di bukunya, The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and The World, terbit tahun 1988, dan lantas, melihat Sukarno berkata begitu, Ben langsung merasa pening, alias vertigo. Hitler dalam bayangannya, dan lazimnya orang Eropa, ternyata tidak selalu selaras dengan apa yang dibayangkan masyarakat nasionalis negara-negara berkembang; melalui pidato Sukarno, ia seakan dipaksa memandang Hitler dengan teleskop terbalik (inverted telescope), metafora yang lantas mengilhami dirinya dalam memandang spektrum nasionalisme di Asia Tenggara, ranah kepakarannya di kemudian hari.

Fasisme Yang Meninggalkan Sejarahnya

Maju berpuluh-puluh tahun kemudian, kegemparan yang kurang lebih sama terjadi kembali di Yogyakarta. Penghujung 2017 lalu, sebuah museum setempat sempat memamerkan patung Hitler yang berdiri congkak dengan latar belakang kamp konsentrasi Auschwitz. Tujuannya? Sebagai sarana atraksi selfie bagi para pengunjungnya. Tentu saja hal tersebut menimbulkan perdebatan panas dari media-media di dalam dan luar negeri. Saya pun berpikir, apakah orang-orang Indonesia sudah sebegitu apatisnya terhadap sejarah dunia dan kemanusiaannya, atau mereka memang melihat Hitler sebagai sosok sejarah yang layak untuk diberi simpati?

Hitler dan ideologi fasisme Nazi-Jerman sejatinya bukanlah hal asing dalam sejarah Indonesia. Pada 1933, tahun yang sama dengan tahun diangkatnya Hitler sebagai Kanselir Jerman, setidaknya dua partai berhaluan fasis ikut didirikan di Hindia Belanda, yakni Nederlandsche Indische Fascisten Organisatie (NIFO) dan Partai Fasis Indonesia (PFI). Meski singkat dan tidak menonjol, namun eksistensi keduanya memperlihatkan bahwa fasisme Nazi-Jerman memang mendapat tempat dalam gerakan politik di Hindia Belanda. Partai Indonesia Raya (Parindra) yang berdiri kemudian hari, juga tercatat lekat dengan atribut-atribut fasisme.

Setidaknya ada dua nama kelahiran Hindia Belanda yang kemudian menjadi anggota Nazi, yakni Ernest Herman van Rappard (lahir di Banyumas, 1899-1953) dan Carl Langbehn (Padang, 1901-1944). Van Rappard aktif dalam partai-partai fasis di Belanda sebelum akhirnya bergabung dengan Waffen-SS sesaat setelah Belanda diduduki Jerman. Ia kemudian dihukum seumur hidup akibat menjadi kolaborator Nazi. Sedangkan Langbehn bergabung pada 1933, namun ia menjadi kritis terhadap partainya lalu terlibat sebagai konspirator Plot Juli yang mencoba mengudeta Hitler, walau gagal. Langbehn tewas dihukum gantung.

Di masa jayanya, busana dan gestur ala Nazi-Jerman menjadi mode di Hindia Belanda, bahkan salam "Heil Hitler” dan pengibaran lambang swastika menjadi lumrah di kalangan kelompok orang-orang Jerman. Namun, ketika Perang Dunia II yang dimulai Hitler tersebut usai, dunia akhirnya memahami bahwa fasisme adalah sebuah bencana. Indonesia yang kemudian merdeka dari kekuasaan fasisme Jepang pun dengan segera menyorot perhatian. Awalnya Sukarno membawa Indonesia berpolitik luar negeri secara moderat, menggandeng negara-negara Asia-Afrika, namun menjelang 1960-an dunia kian was-was melihat agresivitas Sukarno.

Mobilisasi militer Indonesia di Papua Barat membuat Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns, menyatakan bahwa Sukarno serupa dengan Hitler kala mencaplok Sudetenland dari Cekoslovakia pada 1938, dan menurutnya, gertakan Sukarno belum akan berhenti. Luns benar. Sukarno kemudian menyasar Inggris di Malaysia pada 1963. Disengaja atau tidak, pidato Sukarno yang menyanjung Hitler di Jakarta pada tahun yang sama tersebut kian membuat geram diplomat-diplomat Eropa. Menurut Ben, seorang diplomat yang mendengar pidato tersebut meyakini bahwa Sukarno telah menjadi "penipu flamboyan nan gila”.

Nasionalisme Indonesia dan patriotismenya yang terkadang membabi buta sangat mungkin menumbuhkan aspek-aspek fasis tanpa disadari, terlebih saat pemerintah membiarkan masyarakatnya menakar-nakar identitas keindonesiaan seseorang berdasarkan ras dan agamanya dengan serampangan. Hal itulah alasan mengapa persekusi terhadap orang-orang komunis di sekitaran Peristiwa 1965 begitu kental dengan partisipasi organ-organ paramiliter dan rakyat biasa, dan Orde Baru melestarikan kebencian terhadap komunisme tersebut untuk melegitimasikan kekuasaannya. Suharto mungkin bukan Hitler, namun mereka sama-sama memilki tanggung jawab terhadap kebijakannya yang mempersekusi kelompok-kelompok yang tak diinginkan.

Membicarakan Hitler dan aspirasi fasisnya berarti menyinggung tiga hal: perilaku otoriter, pemaksaan identitas, dan propaganda musuh imajiner. Tak usah jauh-jauh, apakah ketiga hal tersebut termanifestasikan dalam perilaku kehidupan kita sehari-hari? Dan sebagai seorang Indonesia yang baik, sudahkah kita berperilaku santun, toleran, dan tidak sembarangan memusuhi orang yang berbeda fisik dan pemikiran? Rasanya, itu belum terwujud. Misalnya pada penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang meninggalkan isu rasisme dan menjadi momentum bagi kelompok-kelompok intoleran untuk mengagung-agungkan identitas kepribumian untuk mendiskreditkan kelompok lainnya.

Kita ingat bagaimana pada 2012 lalu Andre Vltchek membuat kehebohan dengan artikelnya yang berjudul ‘Take a Train in Jakarta'. Jurnalis yang berpengalaman meliput di wilayah-wilayah konflik tersebut melabeli Jakarta sebagai kota fasis, berdasarkan pada kebejatan politisinya dan kemiskinan terstruktur yang sengaja diciptakan. Namun, saya pikir, yang lebih berbahaya adalah bagaimana kebodohan dan kemiskinan di Jakarta membuat masyarakatnya menjadi mudah termanipulasi oleh iming-iming kepuasan duniawi, dan surgawi, demi tujuan politik sekelompok elit semata; persis seperti kala dulu Hitler mengeksploitasi agenda fasismenya.

Baca juga:Patung Hitler dan Foto Ausschwitz di Yogyakarta Akhirnya Disingkirkan

Menolak Hitler, Menerima Sejarah

Masih teringat, sekitar kira-kira 15 tahun lalu, saya yang masih berusia 12 tahun menunjukkan buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa yang ditulis oleh Michael H. Hart kepada teman-teman di sekolah, lalu membuka halaman yang menunjukkan peringkat ke-39, yakni Hitler, sambil berkata, "dia teroris”. Ada keluguan kala mengucapkan kata-kata tersebut, namun kini, setelah mendalami sejarah lebih jauh, rasanya saya makin yakin bahwa Hitler adalah seseorang yang riwayat hidupnya wajib dipelajari oleh siapapun untuk mencegah lahirnya Hitler lain di masa sekarang.

Saya pribadi kurang menyetujui publikasi personifikasi Hitler dalam ruang publik di Indonesia, seperti dalam kasus museum di Yogyakarta tersebut, terlebih jika ia ditampilkan dalam ranah glorifikasi yang menimbulkan kebanggaan, bukan kegeraman.

Hal itu hanya akan memperlihatkan kebodohan orang-orang Indonesia dalam memandang sejarah dan menjadi bahan cercaan dunia internasional. Dan apakah sebenarnya Hitler lari ke Indonesia setelah fasisme Nazi yang dipimpinnya tumbang tahun 1945? Entahlah. Namun, jika Anda rasis, menyetujui persekusi, dan gemar menebar hoaks, mungkin Anda adalah Hitler itu sendiri.

Penulis:

Rahadian Rundjan (ap/as)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.