1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menghadapi Penyebaran Paham Terorisme di Kampus

4 Juni 2018

Perlukah pengawasan ketat di kampus yang merupakan dunia dengan tingkat kebebasan berpendapat tinggi untuk mencermati penyebaharan paham radikalisme?

https://p.dw.com/p/2ytBa
Indonesien Anti-Terror Aktion Riau Universität
Foto: Reuters/R. Muharrman

Kapolda Riau Irjen Nandang memberikan penjelasan atas kritikan soal polisi yang masuk kampus bersenjata lengkap ketika melakukan penggerebekan di Universitas Riau, dimana kampus merupakan dunia dengan tingkat kebebasan berpendapat yang tinggi.

Dalam razia itu tiga tersangka teroris ditangkap dan empat bom rakitan diamankan. Dikutip dari Kompas, Kapolda Riau Irjen Nandang  menyebutkan senjata dan pengaman lengkap dibutuhkan tim Densus 88 dari Mabes Polri dan Polda Riau dalam razia tersebut: "Yang digrebek bukan pencuri ayam. Tapi, salah satu bentuk kejahatan extraordinary atau kejahatan yang sangat meresahkan bangsa-bangsa di dunia ini."

Yang ditangkap alumni kampus

Ketiga terduga teroris yang ditangkap Densus 88 dan Polda Riau adalah alumni Universitas Riau berinisial BI, ED, dan ZA. Empat unit bom rakitan aktif yang disita polisi di gelanggang mahasiswa di dalam kampus, rencananya akan diledakkan di kantor DPRD Riau dan DPR RI, demikian kata juru bicara polisi Setyo Wasisto dalam sebuah pernyataan. 

Hari Sabtu (02/06) tiga terduga teroris ditangkap Densus 88 Anti-Teror Mabes Polri dan Polda Riau di kawasan kampus Universitas Riau. Polisi menggeledah gelanggang mahasiswa hingga menemukan bom rakitan aktif, busur panah beserta anaknya, senapan angin dan bermacam jenis serbuk mesiu atau bahan peledak.

Dikutip dari Suara.com,  tiga terduga teroris yang merakit bom di Universitas Riau adalah anggota jaringan Jemaah Ansharut Daulah (JAD). JAD adalah organisasi  yang beberapa waktu lalu melancarkan serangan teror bom bunuh diri di Jawa Timur maupun penyerangan di Mapolda Riau.

Dalam wawancara dengan DW, analis konflik dan konsultan keamanan yang bermukim di Irak, Alto Labetubun menjelaskan, alumni memang merupakan salah satu komponen yang menciptakan terjadinya radikalisme di kampus. "Mereka yang berafiliasi dengan gerakan dan/atau organisasi berbasis ideologi tertentu kemudian bertemu di kampus dan menciptakan ‘safe heavens' untuk menjaga dan menyebarkan ideologi mereka. Yang kedua adalah faktor organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan ideologi tertentu. Mereka memanfaatkan/mengeksploitasi ‘kebebasan di perguruan tinggi' sebagai kesempatan untuk berkembang dan mengembangkan jaringannya." Sedangkan faktor ketiga menurutnya adalah penetrasi partai politik berbasis ideologi agama ke dalam kegiatan kampus.

Pihak berwenang telah menyoroti kekhawatiran tentang meningkatnya radikalisme di universitas-universitas. Sejumlah survei terbaru dari para siswa telah menunjukkan dukungan signifikan terjadap ISIS, pelaksanaan jihad dan pembentukan kekhalifahan di Indonesia. Demikian dikutip dari Reuters.

BNPT menyadari bahwa paham radikalisme menyusup ke dalam kampus ketika ada perubahan pola pelaku terorisme tahun 2016. Dalang bom Sarinah pada tahun 2016, Bahrun Naim, adalah lulusan program diploma 3 jurusan ilmu komputer Universitas 11 Maret, Solo, Jawa Tengah, demikian dikutip dari tempo.

Bibitnya sudah lama

Namun menurut  riset dan tim media Jaringan Nasional Gusdurian Indonesia, yang banyak berkecimpung dalam dunia kampus, Kalis Mardiasih, bibit radikalisme di kampus itu sudah ada sejak pasca reformasi karena banyak organisasi Islam transnasional yang masuk ke kampus-kampus: "Pengajian banyak dilakukan di masjid-masjid kampus di mana kampus seharusnya memiliki otoritas namun malah tidak mengawasi hal itu."

Dilansir dari Tempo, laporan BNPT tersebut mirip dengan survei yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara yang dipublikasikan pada April lalu. Menurut laporan itu, dari 20 perguruan tinggi yang disurvei di 15 provinsi sepanjang tahun 2017, 39 persen mahasiswanya anti demokrasi dan tidak setuju Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Analis konflik dan konsultan keamanan yang bermukim di Irak, Alto Labetubun menyebutkan selama ini ada  miskonsepsi tentang kenapa latar belakang orang menjadi radikal: "Ada yang beranggapan bahwa hanya orang-orang berpendidikan rendah dan kurang mapan secara ekonomi saja yang berpeluang terpapar radikalisme. Tetapi pengalaman di lapangan - Irak - menunjukkan bahwa orang-orang dengan pendidikan tinggi seperti dokter, insinyur pun rentan terhadap radikalisme, bahkan terorisme. Secara psikologis, hal ini disebabkan karena ada kegagalan dalam pencarian identitas diri dan ketiadaan 'moral compass'. Orang-orang yang secara akademik pintar ini merasa bahwa kepintaran mereka itu tidak memberi hasil yang optimal dan mereka tidak berkontribusi pada sebuah perubahan dalam sistem dimana mereka sekarang berada dan dalam konteks Indonesia, sistem tersebut adalah NKRI."

Apakah dengan demikian perlu pengawasan ketat atas kegiatan kampus?

Beberapa kalangan pro dan kontra terhadap gagasan pengawasan kampus yang lebih ketat agar tak terpapar radikalisme. Pengamat masalah terorisme, Rakyan Adibrata mengakui hal itu sulit dilakukan, sebab dunia kuliah adalah dunia dengan tingkat kebebasan berpendapat yang tinggi. "Namun,  rektorat memiliki kewajiban agar tidak ada proses radikalisme terjadi di dalam kampus."

Sementara pengamat masalah terorisme Noor Huda Ismail berpendapat pengawasan tersebut memang perlu, namun caranya yang harus lebih diperhatikan. Menurutnya pemikiran radikalisme tak bisa diawasi, namun tindakan berupa kekerasan, harus ditangani. Dia menjelaskan, harus ada pembedaan antara pemikiran radikal (cognitive) dan tindakan atau tingkah laku (behaviour). Jadi bukan pada pengawasannya yang lebih diprioritaskan, melainkan mendorong cara berpikir dan berperilaku. Misalnya lewat dialog atau mendorong mereka yang berperilaku radikal agar terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan bersama mereka yang berbeda iman."

Setelah beberapa keberhasilan menangani militansi Islam di Indonesia dalam dua dekade terakhir, belakangan terjadi lagi rangkaian serangan teror. Bulan lalu, polisi menembak mati empat orang yang menggunakan samurai untuk menyerang petugas di markas polisi di Pekanbaru. Serangan itu terjadi setelah serangkaian pemboman bunuh diri yang dilakukan oleh  militan yang menargetkan gereja dan gedung polisi di Surabaya. Sekitar 30 orang tewas dalam serangan itu , termasuk  belasan terduga pelaku bom bunuh diri.

Polisi mengatakan, pelaku pemboman adalah sel-sel Jemaah Ansharut Daulah (JAD), sebuah organisasi payung yang termasuk dalam daftar teroris Departemen Luar Negeri  Amerika Serikat. Organisasi tersebut diperkirakan telah merekrut ratusan pengikut di Indonesia.

ap/hp(kompas//reuters/suara.com)