1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

170210 USA China Verhältnis

17 Februari 2010

Obama tidak berniat tarik kembali ucapannya. Walaupun Cina melayangkan protes keras, Obama tetap akan bertemu dengan Dalai Lama, Kamis (18/02).

https://p.dw.com/p/M49L

Berbeda dengan pendahulunya, yang dalam kampanye pemilu berjanji untuk bersikap tegas terhadap Cina, Preisden Barack Obama berniat menjalankan strategi yang berbeda di tahun pertama masa tugasnya. Tanpa tekanan akibat janji-janji kampanye itu, pemerintahan Obama berhasil menggelar sejumlah pertemuan puncak dengan pihak Cina, terutama di saat krisis ekonomi gobal melanda.

Kunjungan pertama Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton membawanya ke Beijing. Saat itu, Clinton mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak menjadikan debat mengenai hak asasi manusia prasyarat untuk pembicaraan menyoal topik lainnya dengan Cina. Akibat pernyataannya ini, Clinton menuai kritik keras di Amerika Serikat.

Presiden Barack Obama pun tak terluput dari kritik, saat ia menolak untuk bertemu pemimpin spiritual tertinggi Tibet Dalai Lama tahun 2009 lalu. Saat Obama pertama kali berkunjung ke Cina, ia menyesuaikan diri dengan keinginan tuan rumah. Dalam pertemuan dengan sejumlah mahasiswa di Shanghai Obama mengatakan, "Kami memiliki hubungan yang positif, konstuktif dan menyeluruh yang membuka jalan bagi kemitraan di bidang-bidang penting seperti pemulihan ekonomi, pengembangan energi hijau, perlucutan senjata nuklir, upaya mengatasi perubahan iklim, perdamaian dan keamanan di Asia dan seluruh dunia."

Tapi belakangan hubungan antara AS dan Cina tampak kembali tegang. Dalam pidato di Paris, Perancis, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengatakan, Cina harus mendukung sanksi lebih keras terhadap Iran, jika Cina tidak ingin terpinggirkan di kancah politik dan ekonomi. Sebelumnya Clinton juga mengatakan bahwa Beijing perlu menyelidiki serangan hacker terhadap perusahaan internet Google. Selain itu, Amerika Serikat mengumumkan rencana untuk menjual senjata senilai 6,4 miliar Euro kepada Taiwan. Dan kini, Presiden Barack Obama akan bertemu Dalai Lama.

Bagi pakar urusan Cina Nina Hachigian dari Center for American Progress, perkembangan ini sebenarnya sudah dapat diduga sebelumnya. "Pendekatan yang digunakan pemerintah AS tidak berubah, ini lebih terkait rentetan peristiwanya. Dalam hubungan Amerika dan Cina, cepat atau lambat masalahnya akan tiba di topik-topik sulit ini."

Hubungan Cina dan Amerika Serikat memang pelik dan ada banyak perbedaan, tambah Nina Hachigian. Tapi ini tak berarti situasinya harus didramatisir secara berlebihan. Dan Hachigian merujuk pada sejumlah keberhasilan politik Cina Obama. "Hasil dari Konferensi Iklim kurang memuaskan, tapi tetap ini lebih baik daripada yang diharapkan sebagian besar pengamat dari Cina setengah tahun sebelumnya. Terkait Iran, Cina setuju dengan analisa Badan Energi Atom Internasional yang keras. Cina mendukung dan meloloskan sanksi terhadap Korea Utara - itu belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Saat krisis ekonomi melanda, Cinalah yang meluncurkan paket perangsang ekonomi terbesar dunia. Itulah yang diinginkan oleh Amerika Serikat."

Tentu masih banyak masalah yang mengeruhkan hubungan kedua negara, tambah pakar Cina Hachigian. Kata-kata pedas yang dilontarkan Cina sehubungan masalah Tibet dan Taiwan sebenarnya tidak mengejutkan. Kedua topik ini sangat penting bagi Cina.

Hachigian mengaku optimis mengenai masa depan hubungan Cina dan Amerika Sertikat. Berbeda dengan pandangan sejumlah pakar Cina lainnya yang kuatir hubungan dua adidaya dunia ini akan semakin tegang di masa depan.

Christina Bergmann/Ziphora Robina

Editor: Yuniman Farid