1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aturan Khitan di Jerman Terus Diperdebatkan

Jennifer Fraczek21 Desember 2013

Setahun lalu setelah debat alot dan panjang, Jerman meloloskan aturan khitan baru yang kontroversial. Kini kalangan kritik menyebut aturan tersebut tidak menjamin kesejahteraan anak.

https://p.dw.com/p/1AdyC
Foto: picture-alliance/dpa

Keputusan yang ditetapkan pengadilan Köln pada musim semi 2012 memicu debat hangat menyangkut ritual khitan Muslim dan Yahudi. Pengadilan memutuskan bahwa sunat non-medis membahayakan tubuh. Baik suporter maupun kritik praktek non-medis berdiskusi panjang di televisi dan halaman editorial, melontarkan argumen medis dan etis. Pertanyaan utamanya tetap: bagaimana mempertemukan kebebasan beragama dan hak orangtua untuk memilih cara membesarkan anak di satu sisi, dengan kesejahteraan anak-anak di sisi lain.

Sebuah undang-undang dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Paragraf 1631d dari kitab hukum perdata menyatakan bahwa khitan anak lelaki adalah legal dan harus dilakukan sesuai 'aturan profesi medis' - seaman mungkin dan dengan penghilang rasa nyeri yang efektif. Orangtua harus diberitahu risiko prosedur, tidak boleh membahayakan kesejahteraan anak, dan permintaan anak yang sudah cukup besar harus dipertimbangkan. Perwakilan dari komunitas Muslim dan Yahudi di Jerman mengaku puas dengan syarat yang ditentukan.

Menteri Kehakiman Jerman, Sabine Leutheusser-Schnarrenberger, membela aturan baru
Menteri Kehakiman Jerman, Sabine Leutheusser-Schnarrenberger, membela aturan baruFoto: picture-alliance/dpa

Sebaik apa itu 'normal'?

Menteri Kehakiman saat itu, Sabine Leutheusser-Schnarrenberger, yang mengajukan undang-undang, mengatakan aturan baru menggantikan apa yang disebut sebagai status quo sebelum putusan pengadilan Köln.

Namun setahun setelah berlaku, undang-undang ini gagal total - setidaknya menurut kalangan kritik, yang mengatakan sunat merupakan pelanggaran atas integritas fisik anak. Mereka menambahkan, anak lelaki kerap tidak melewati prosedur yang aman.

"Aturan melegalisasi cara amputasi kulit khitan anak yang patut dipertanyakan," kata Christian Bahls, ketua asosiasi Mogis, yang mengkampanyekan integritas fisik anak.

Prosedur yang tidak higienis

Bahls merujuk pada sebuah kasus di Berlin yang melancarkan metode Yahudi, Metzitzah B'Peh - di mana pengkhitan menghisap luka khitan menggunakan mulut, dan bukan pipet atau tabung kecil. Karena berisiko infeksi, Asosiasi Rawat Jalan Anak Israel (IAPA), serta asosiasi lainnya, sudah melarang praktek tersebut.

Mogis menuntut ayah bayi lelaki tersebut, seorang rabi, begitu juga dengan kakeknya yang memegangi bayi saat dikhitan. Namun kasus dibatalkan karena tidak dapat ditemukan bukti adanya tindak kriminal, dan sang pengkhitan tinggal di luar Jerman sehingga berada di luar yurisdiksi.

Bahls menilai kejadian ini sebagai bukti bahwa aturan baru tidak melindungi kesejahteraan anak. Ia mengklaim jaksa penuntut umum membatalkan kasus dengan alasan bahwa penggunaan pembalut anti nyeri setelah khitan sudah cukup dari segi medis. "Jelas bahwa mengamputasi kulit khitan seorang anak tanpa pembiusan yang memadai itu diperbolehkan," tutur Bahls. "Itu yang diperbolehkan oleh hukum."

Wolfgang Gahr, sekretaris jenderal akademi medis untuk anak-anak dan remaja (DAKJ), juga mendengar laporan mengenai sunat yang dilancarkan pada kondisi kurang higienis dan tanpa obat bius. "Ini kasus-kasus individu," ungkapnya. "Kami tidak punya angka pasti." DAKJ menentang khitan non-medis secara umum, namun kalau tidak dapat dihindari lagi, "setidaknya harus dilangsungkan di bawah pengawasan medis dan bebas dari rasa sakit."

Keputusan awal mengundang protes dari komunitas Muslim dan Yahudi
Keputusan awal mengundang protes dari komunitas Muslim dan YahudiFoto: picture-alliance/dpa

Namun kedua syarat tersebut jelas tidak ditentukan oleh hukum, yang menyatakan bahwa anak-anak di bawah usia 6 bulan dapat disunat oleh seseorang yang ditunjuk oleh komunitas religi - dalam kata lain, seorang pengkhitan, yang kerap kali bukan seorang dokter. Ini berarti ia tidak memenuhi syarat untuk memberi anestesi, kata Gahr.

Kewajiban diabaikan

Kementerian Kehakiman, di sisi lain, mengutip apa yang diklaim sebagai bukti bahwa hukum melindungi kesejahteraan anak - misalnya keputusan oleh Pengadilan Tinggi Jerman bulan September 2013, yang melarang seorang perempuan Kenya untuk menyunat anak lelakinya yang berusia 6 tahun karena baik orangtua maupun para dokter belum berkonsultasi dengan sang anak, dan karena kedua orangtua belum paham betul mengenai prosedur yang akan dilewati.

Pengadilan Konstitusi Jerman juga harus menegakkan aturan, saat seorang lelaki melayangkan tuntutan setelah dikhitan oleh seseorang yang tidak pernah melewati pelatihan medis, pada tahun 1991, saat ia berusia 6 tahun. Hakim membubarkan kasus karena saat itu aturan baru belum berlaku. Dengan kata lain, pengadilan menghindari pemberlakuan aturan baru itu sendiri.