1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

AS Dukung Filipina dalam Perseteruan Laut Cina Selatan

23 Maret 2021

Amerika Serikat mendukung Filipina dalam perseteruan terkini dengan Cina dalam sengketa Laut Cina Selatan. Sementara, pengamat mengkritisi kedekatan Duterte dengan pemerintahan di Beijing.

https://p.dw.com/p/3r0Oi
 220 kapal Cina di laut Cina Selatan.
Kapal-kapal Cina yang dipermasalahkan Filipina.Foto: AP Photo/picture alliance

Kedutaan Besar Amerika Serikat di Manila menyatakan, pihaknya mendukung seruan Filipina yang mendesak agar kapal- kapal Cina segera meninggalkan kawasan terumbu karang Whitsun Reef, yang terletak sekitar 324 kilometer arah barat dari Kota Bataraza, Provinsi Palawan. Di lain pihak, Cina mengabaikan seruan itu, dengan bersikeras bahwa kapal itu berada di wilayah lepas pantai.

Amerika Serikat menuduh Cina menggunakan "milisi maritim untuk mengintimidasi, memprovokasi, dan mengancam negara lain, yang merusak perdamaian dan keamanan di kawasan. Sementara itu, Menteri Pertahanan Filipina, Delfin Lorenzana mengatakan, kehadiran kapal-kapal Cina adalah "tindakan provokatif yang jelas atas militerisasi di kawasan itu" dan mendesak Cina untuk menarik kembali kapal-kapal tersebut.

Filipina bersikeras, terumbu karang yang mereka sebut Julian Felipe, termasuk dalam zona ekonomi eksklusif negara tersebut, yang diakui secara internasional, di mana Filipina "menikmati hak eksklusif untuk mengeksploitasi atau melestarikan sumber daya apa pun.”

Pada tanggal 7 Maret, penjaga pantai Filipina melihat sekitar 220 kapal Cina tertambat di kawasan terumbu, yang juga diklaim oleh pemerintahan di Beijing dan Vietnam. "Pada hari Senin (22/03), sebuah pesawat pengintai melihat 183 kapal Cina masih berada di kawasan terumbu karang tersebut", kata Panglima Militer Filipina, Letjen Cirilito Sobejana. Ia merilis foto udara yang memperlihatkan kapal Cina di salah satu lokasi yang paling diperebutkan di jalur perairan strategis itu.

Beijing membantah

"Filipina telah mengajukan protes diplomatik atas insiden itu", ujar Menteri Luar Negeri Filipina, Teodoro Locsin Jr. Namun Cina bersikeras bahwa mereka memiliki kawsan terumbu karang, yang mereka sebut Niue Jiao, dan mengatakan kapal-kapal Cina berkumpul di daerah itu untuk menghindari gelombang laut yang ganas.

Beijing membantah kapal-kapal itu adalah milisi maritim. "Spekulasi semacam itu tidak membantu apa-apa selain menyebabkan gangguan yang tidak perlu,'' demikian ditekankan Kedutaan Besar Cina di Manila dalam sebuah pernyataan pada hari Senin(21/03). 

Kedutaan Besar AS mengatakan, kapal-kapal Cina telah berlabuh di daerah ini selama berbulan-bulan dalam jumlah yang terus meningkat, terlepas dari cuaca apa pun.

Kedekatan Filipina dengan Cina dipertanyakan

Pada tahun 2016, pengadilan internasional telah menolak klaim kedaulatan Cina atas 90% wilayah Laut Cina Selatan. Tetapi Beijing tidak mengakui putusan itu dan membangun instalasi militer di pulau-pulau di perairan yang dipersengketakan, lengkap dengan radar, baterai rudal dan hanggar jet tempur.

Pakar Laut Cina Selatan di Universitas Filipina, Jay Batongbacal, menyebutkan "kebijakan persahabatan" Presiden Filipina, Rodrigo Duterte lebih menyelaraskan kedekatan dengan Cina dan menjauhkan diri dari Washington-lah, yang harus dipersalahkan.

Duterte telah menjalin hubungan persahabatan dengan Beijing sejak menjabat sebagai presiden pada tahun 2016 dan telah dikritik karena tidak segera menuntut kepatuhan Cina atas putusan arbitrase internasional.

Duterte memburu dana infrastruktur, perdagangan, dan investasi dari Cina, yang juga telah menyumbang dan berjanji untuk mengirimkan lebih banyak lagiv aksin COVID-19 saat Filipina menghadapi lonjakan kasus positif virus corona yang mengkhawatirkan. "Kini apa pun peluang yang ada bagi kita untuk memperlambat atau menghentikannya telah hilang," tandas Batongbacal, sebagaimana dilansir dari Associated Press.

Cina mengklaim hampir seluruh kawasan Laut Cina Selatan yang kaya akan sumber daya energi, dan juga merupakan jalur perdagangan utama. Filipina, Brunei, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan saling mengklaim kawasan tersebut secara tumpang tindih.

rzn/as (ap/reuters)