1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

AS Berencana Pulihkan Hubungan Diplomatik dengan Myanmar

Sonila Sand14 Januari 2012

Dunia menyambut positif perubahan politik yang sedang terjadi di Myanmar. Hari Jumat (13/1), rejim sipil yang kini berkuasa kembali memberikan amnesti dan membebaskan tahanan politik.

https://p.dw.com/p/13jpr
Seberapa kuat Presiden Thein Sein menghadapi kelompok garis keras?Foto: picture-alliance/dpa

Amerika Serikat mengirim sinyal positif akan memulihkan hubungan diplomatik dengan Myanmar. Dua puluh tahun lebih, Amerika membekukan hubungan sejak junta militer berkuasa di sana.

Kini, Washington mempertimbangkan rencana bertukar duta besar dengan Yangoon, sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton "Amerika akan mempertemukan aksi dengan aksi. Berdasarkan langkah-langkah yang telah diambil, kami akan memulai konsultasi dengan anggota kongres dengan di bawah pengarahan Presiden Obama. Kami akan memulai proses pertukaran duta besar dengan Birma. Kami akan mencari seorang kandidat yang akan bekerja sebagai duta besar mewakili pemerintah Amerika dan upaya kami yang lebih luas untuk memperkuat dan memperdalam hubungan baik dengan masyarakat maupun pemerintah“.

Hingga hari Jumat (13/1), pemerintah Myanmar total telah memberikan amnesti dan melepaskan 651 tahanan politik. Sejumlah tahanan politik terkenal dibebaskan. Termasuk Min Ko Naing, yang merupakan tokoh Kelompok Generasi Mahasiswa 1988, yang dipenjara karena menggerakkan ribuan mahasiswa untuk melawan junta militer. Ia disebut sebagai figur oposisi terpenting Myanmar setelah Aung San Suu Kyi.

Tokoh lain yang dibebaskan adalah Khin Nyut, bekas kepala intelijen dan kepala pemerintahan. Tahun 2004, ia digulingkan dalam perebutan kekuasaan internal di dalam junta militer dan kemudian ditangkap atas tuduhan korupsi. Khin Nyunt, yang dipandang sebagai tokoh yang relatif reformis, mengaku sudah terlalu tua untuk terjun kembali ke politik.

Pembebasan sejumlah pembangkang terkenal adalah sebuah langkah penting yang menandai transisi demokrasi Myanmar. Sambutan hangat, datang dari dalam dan luar negeri. Namun, Soe Aung, aktivis organisasi eksil “Forum Demokrasi Birma” mengingatkan bahwa tetap perlu sikap kritis "Kami pernah mengalami ini, karena sebelumnya mereka pernah membebaskan tahanan politik sejak tahun 2004 hingga akhir tahun lalu atau awal tahun ini.Tapi tahanan politik ini harus dibebaskan tanpa syarat. Apa yang telah kami pelajari bahwa ada perintah dari Presiden Thein bahwa ini tidak dibebaskan tanpa syarat. Kita harus memastikan bahwa ada reformasi kelembagaan yang resmi, sehingga kami bisa memastikan bahwa kawan-kawan kami tak akan ditangkap dan dimasukkan ke penjara lagi”.

Sehari sebelum membebaskan tahanan politik, pemerintah menandatangani gencatan senjata dengan kelompok etnik minoritas Karen, yang merupakan kelompok pembangkang terbesar di Myanmar. Persetujuan yang dicapai antara pemerintah dengan perwakilan delegasi Persatuan Nasional Karen KNU, diharapkan bakal menjadi dasar lebih lanjut bagi perundingan damai jangka panjang. Persatuan Nasional Karen KNU dan sayap militernya yakni Tentara Pembebasan Nasional Karen, telah memberontak lebih dari 60 tahun melawan pemerintah Myanmar.

Namun, pada saat pemerintah Myanmar melakukan negosiasi gencatan senjata, konflik berdarah dengan kelompok minoritas lain terus berlanjut. Di Kachin, yang terletak di utara Myanmar, pertempuran pecah antara tentara pemerintah dengan pemberontak Kachin.

Langkah transformasi telah dimulai. Tapi kini muncul pertanyaan: seberapa besar kekuasaan Presiden Thein Sein dalam menghadapi kelompok garis keras yang ada di dalam pemerintahan? Seberapa kuat ia berhadapan dengan kelompok yang berkeras tak ingin melihat Myanmar menjadi lebih demokratis.

Andy Budiman

Editor: Ayu Purwaningsih