1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Antara Modern dan Dogmatis

Mulham Almalaika10 Juni 2015

Wahabisme adalah agama negara di Arab Saudi. Segalanya harus berdasarkan paham itu. Banyak pakar Islam mengkritik sistem itu. Sementara di Arab Saudi kritik tidak dimengerti.

https://p.dw.com/p/1Ac9Q
Foto: Fayez Nureldine/AFP/Getty Images

Daftar larangan di Arab Saudi sangat panjang. Musium tidak ada, demikian halnya dengan bioskop, teater, pameran mode atau perayaan umum. Perempuan tidak boleh menyetir mobil, dan tidak boleh meninggalkan rumah sendirian. Pemisahan antara jenis kelamin menguasai kehidupan umum. Penyebabnya Wahabisme, agama negara di Arab Saudi.

Pelaksanaan peraturan ini, juga larangan-larangan lain, dipastikan polisi agama yang disebut Mutaw'a. Legitimasinya diperoleh dari kitab Al Quran. Jika Mutaw'a menemukan pelanggaran di muka umum, mereka bisa memberikan peringatan, atau mengadukannya kepada polisi.

"Pihak pengambil keputusan di Riad berpendapat, tugas Mutaw'a bisa dilandasi dengan adanya lokasi-lokasi suci Islam di negara itu," kata pakar Islam asal Mesir, Mu'men Al-Mohammady. Dengan argumentasi sama Arab Saudi membenarkan status istimewanya, yang membebaskannya dari keharusan menganut model negara modern, yang umum di dunia.

Partai-Partai Dilarang

Berdasarkan keyakinan ini, partai-partai politik dilarang. Di Arab Saudi juga tidak ada parlemen yang dipilih. Yang ada hanya permusyawaratan yang memberikan nasehat, yaitu Syura, yang mendampingi raja dan keluarganya.

Seorang mantan anggota Syura, Mohammad Al Zulfa tidak melihat adanya pembatasan kebebasan pribadi jika partai politik dilarang. "Walaupun partai-partai politik dan organisasi tidak ada di Arab Saudi, ada warga yang dulu jadi anggota dalam partai-partai berpaham pan-arabisme, misalnya sayap partai Baath di Irak dan Suriah." Al Zulfa menjelaskan lebih jauh lagi. Di Arab Saudi orang bisa "mengatakan pendapat di kafe-kafe dan dalam pertemuan, tanpa harus merasa takut. Kebebasan ini jelas sebih besar daripada di Suriah atau di Irak di bawah kekuasaan Baath“.

Keinginan Demokrasi Bisa Dihukum

Pakar politik Abdul Aly Razaky tidak sependapat. Ia kenal sejumlah kasus, di mana seruan akan adanya reformasi diganjar dengan hukuman berat. Misalnya, dokter Sa'du Al-Mukhtar divonis hukuman penjara 30 tahun, dan 30 tahun tahanan rumah. Menurut Razaky, Al Mukhtar dianggap bersalah karena mengorganisir pertemuan, di mana reformasi dibicarakan dan dijelaskan. Pertemuan itu seyogyanya berlanjut pada pembentukan partai-partai politik di Arab Saudi.

Mantan anggota Syura, Al Zulfa setidaknya mengakui, bahwa "masyarakat Arab Saudi konservatif dan bersikap menolak segala sesuatu yang baru." Jadi bukanlah tugas ringan untuk meyakinkan orang-orang berhaluan keras di masyarakat itu, akan pentingnya perubahan.

Abad Ke Tujuh Jadi Panutan

Pakar Islam Al Mohammady menuduh kaum Wahabi ingin sepenuhnya meniru situasi hidup di jaman abad ke tujuh sampai serinci mungkin. "Tanpa menghiraukan konteks sejarah, mereka ingin mengadakan kembali situasi seperti di tahun meninggalnya Nabi Muhammad, dan menjadikannya model negara," begitu Mohammady. Ia menambahkan, di balik itu ada minat berkuasa. Keluarga raja Arab Saudi menyadari, bahwa nasib monarki tergantung pada citra tradisional kerajaan sebagai pusat hukum Syariah.