1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

APBD DKI Jakarta dan Kesadaran Publik

11 Desember 2017

APBD DKI Jakarta kabarnya janggal dengan terjadinya kenaikan di pos-pos tertentu. Mari soroti anggaran publik dalam posisi sebagai warga yang uangnya sedang digunakan oleh pemerintah. Opini Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/2oWr1
Indonesien Wirtschaft Banknoten Geldscheine
Foto: Reuters

Belakangan ini linimasa media sosial dipenuhi oleh perdebatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta, yang kabarnya janggal dengan terjadi kenaikan di pos-pos tertentu. Yang menjadi sorotan dan digunjingkan adalah pos-pos anggaran seperti anggaran untuk perjalanan dinas anggota DPRD DKI Jakarta, anggaran untuk tim Anies Baswedan yang diberi nama Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan, sampai anggaran untuk perbaikan kolam air mancur.

Rasanya jarang terjadi publik meributkan perumusan dan penetapan Anggaran Penerimaan dan Belanja, sampai berpanjang-lebar di Facebook. Bukan hanya warga Jakarta  saja yang meributkan masalah itu, tetapi juga warga dari daerah-daerah di luar Jakarta. Pergunjingan dan saling adu mulut di antara para rival itu, juga sampai merembet ke grup-grup Whatsapp, bahkan di grup Whatsapp keluarga.

Zaky Yamani adalah jurnalis dan penulis.
Penulis: Zaki YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Buntut perseteruan sebelumnya

Saya melihat, pergunjingan dan sorotan publik atas APBD DKI Jakarta itu masih merupakan buntut rivalitas antara pendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat. Rupanya masing-masing pihak masih terus "bersiaga” untuk saling serang di media sosial, setiap kali ada kesempatan untuk melancarkan serangan.

Tapi terlepas dari masalah rivalitas dan panasnya suasana itu, saya melihat kepedulian publik akan anggaran milik mereka sendiri sebagai tren yang positif. Uang yang digunakan pemerintah untuk dimasukkan ke dalam pos-pos anggaran baik di tingkat daerah maupun pusat adalah uang milik publik yang ditarik sebagai pajak. Sesungguhnya kita—warga negara—harus mengetahui dengan detail uang yang kita setorkan itu digunakan untuk apa, oleh siapa, dan untuk kepentingan siapa. Dan tentu saja publik berhak bertanya, bahkan marah, jika ternyata uang mereka digunakan untuk hal-hal yang jauh dari kepentingan publik.

Selama belasan tahun karier saya sebagai jurnalis, sangat sering saya melaporkan kepada publik tentang proses perencanaan dan penetapan APBD. Tujuan saya tentu hanya satu: untuk memberi tahu kepada publik, bagaimana uang mereka akan digunakan oleh pemerintah. Namun, sangat jarang saya melihat publik secara luas merespon berita-berita semacam itu. Kalau pun ada yang aktif merespon, biasanya adalah aktivis-aktivis dari lembaga-lembaga kepentingan atau lembaga-lembaga penekan, yang memiliki pengetahuan akan politik anggaran publik.

Kalau pun ada di antara para aktivis itu yang membawa persoalan APBD ke media sosial, tak pernah saya menyaksikan hal itu ditanggapi dengan serius, apalagi sampai terjadi perdebatan panjang. Melihat situasi itu, saya kadang merasa masygul, karena seharusnya APBD di setiap daerah disoroti dan diperdebatkan, agar uang publik digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan publik sendiri.

Apakah publik buta akan anggaran mereka sendiri?

Saya pikir tidak sepenuhnya buta, misalnya—saya yakin—banyak orang tahu bahwa sebagian besar anggaran publik habis digunakan untuk menggaji pegawai negeri. Tapi belum tentu banyak yang sadar, bahwa struktur anggaran yang lebih banyak membayar pegawai ketimbang membiayai pembangunan sosial-ekonomi masyarakat adalah struktur anggaran yang tidak adil, tidak efektif, dan tidak efisien. Berapa banyak daerah yang struktur anggarannya tidak adil? Banyak sekali.

Kalau kita pernah berjalan-jalan ke daerah-daerah pinggiran atau ke desa-desa, cobalah perhatikan berapa banyak fasilitas publik layak yang tersedia. Saya yakin, kita sangat sering melalui jalan-jalan yang rusak, bangunan-bangunan sekolah-sekolah yang buruk, saluran-saluran air yang tidak terawat, lampu-lampu jalan yang padam, juga terlalu banyak pemuda pengangguran yang nongkrong tak tahu tujuan. Itu semua akibat dari anggaran yang tidak adil, tidak efektif, dan tidak efisien.

Baca juga:

Anggaran Militer Global Naik: Perang Dingin Baru Dimulai?

Berapa Ongkos Krisis Pengungsi di Jerman?

Kalau struktur anggaran publik kita diperbaiki: di mana uang disalurkan untuk membiayai dan menjaga fasilitas publik, dan juga digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan warga, hal-hal yang saya sebutkan di atas bisa dikurangi secara gradual.

Karena itu, walau suasana kadang memanas dan membuat khawatir, saya gembira melihat publik di Jakarta peduli dengan penggunaan APBD Jakarta. Saya benar-benar berharap, kepedulian itu menyebar ke semua daerah, agar semua orang memelototi untuk siapa dan untuk kepentingan apa uang mereka digunakan, sehingga setiap kesalahan penggunaan bisa diketahui dan dihentikan. Tapi tentu saja, semangat menyoroti anggaran publik itu jangan dilatari dengan sikap benci antarpendukung figur-figur politik. Mari kita soroti anggaran publik dalam posisi sebagai warga yang uangnya sedang digunakan oleh pemerintah.

Penulis: Zaky Yamani (ap/vlz), jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.