1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ancaman PLTN Eropa

Gero Rueter6 Maret 2014

PLTN di Eropa rata-rata sudah berusia 29 tahun. Dalam sebuah studi, Greenpeace peringatkan adanya bahaya karena kemanan tidak terjamin lagi. Greenpeace tuntut tindakan tegas untuk lindungi warga.

https://p.dw.com/p/1BLBF
Aksi Greenpeace di PLTN Unterweser beberapa tahun lalu dengan memampangkan tulisan: tenaga nuklir rugikan JermanFoto: picture-alliance/dpa

Bahaya bencana nuklir di Eropa terus meningkat. Saat ini di Uni Eropa, Swiss dan Ukraina dioperasikan 151 pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). 66 di antaranya sudah berusia di atas 30 tahun dan 25 reaktor bahkan sudah di atas 35 tahun. Pakar nuklir dari organisasi perlindungan lingkungan Greenpeace Tobias Riedel mengatakan, sebagian besar reaktor ini dirancang untuk beroperasi selama 30 tahun. Berarti sekarang reaktor-reaktor itu sudah terlampau tua.

Menurut studi setebal 146 halaman dari Greenpeace, ancaman bertambah karena beberapa alasan. Di banyak negara PLTN dioperasikan lebih lama dari rencana semula, dan untuk menghasilkan lebih banyak listrik lagi. Meningkatnya tuntutan itu menambah beban pembangkit listrik, dan dengan semakin bertambahnya usia, potensi ancaman bagi keamanan juga bertambah.

Deutschland Atomkraft Greenpeace-Aktivisten projizieren Totenkopf auf Kühlturm
Salah satu aksi Greenpeace terhadap PLTN Biblis. Di malam hari tampak proyeksi gambar tengkorak yang melambangkan bahaya, di menara reaktor.Foto: picture-alliance/dpa

PLTN Tua Berisiko Besar

Masalah PLTN tua terutama tambah tuanya komponen, sistem dan bangunan. Di samping itu juga akibat konsep pembangunan yang secara teknis juga tambah tua. Misalnya, dulu tuntutan keamanan tidak sebanyak sekarang. PLTN tua kerap lebih rentan dalam menghadapi banjir, gempa bumi dan jatuhnya pesawat terbang. Demikian dijelaskan pakar nuklir Simone Mohr dari institut ekologi di Darmstadt, yang juga ikut menulis studi tersebut. "Aspek-aspek tersebut menyebabkan semakin turunnya standar keamanan reaktor-reaktor tua di Eropa."

Menurut perkiraan Mycle Schneider, penerbit laporan tahunan World Nuclear Industry Status Report, selain daripada itu masih ada risiko lain lagi. Schneider menyebutnya sebagai celah dalam kompetensi. EDF yang menjadi perusahaan pengoperasi PLTN terbesar di dunia "harus mengganti sekitar separuh stafnya dalam waktu lima tahun." Akibatnya, pengetahuan penting mengenai PLTN hilang. Ini juga jadi masalah dalam keadaan krisis, demikian Schneider.

Atomkraftwerk Biblis
PLTN BiblisFoto: dapd

Perusahaan Pengoperasi PLTN Tanggung Risikonya

Menurut pendapat Greenpeace, baik perusahaan pengoperasi maupun politik dan badan pengawas nuklir tidak memberikan reaksi atas bahaya yang makin nyata. Yang juga jadi masalah, perusahaan pengoperasi tidak bisa banyak dituntut jika bencana terjadi. Pakar dalam studi dari Greenpeace menuntut, perusahaan pengoperasi dan pemasok bertanggungjawab sepenuhnya atas risiko, sehingga bukan lagi tanggung jawab negara dan pembayar pajak.

Dengan demikian, keuntungan persaingan semu antara penggunaan tenaga nuklir dan tenaga lain bisa diikurangi. Di samping itu, perusahaan pengoperasi instalasi mendapat rangsangan ekonomi untuk menurunkan risiko bencana nuklir. Kewajiban menanggung "tidak hanya menguntungkan korban bencana, melainkan juga punya efek preventif," demikian penjelasan para pakar dalam laporannya.

Untuk mengurangi risiko keamanan sebaik mungkin, para pakar mengusulkan sistem pertanggungjawaban. "Jika kewajiban tidak terbatas untuk menanggung risiko disatukan bagi seluruh Eropa, perusahaan pengoperasi pasti lebih punya motivasi untuk saling mengkontrol."

Deutschland Kühlbecken AKW Krümmel
Instalasi pendingin di PLTN KrümmelFoto: AP

Tuntutan atas Politik

Akibat bertambahnya risiko, Greenpeace menyatakan khawatir dan menuntut tindakan jelas. Di samping pengalihan secepatnya ke sumber energi terbarukan, para pakar juga menuntut penghentian operasi PLTN yang sudah berfungsi lebih lama dari rencana semula. Selain itu, Greenpeace menuntut "transparensi sepenuhnya, dan keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan".

Bersamaan dengan studi dari Greenpeace, Organisasi Perlindungan Lingkungan dan Alam Jerman (BUND) juga mempublikasikan studi dengan aspek serupa. Menurut perhitungan Universitas Teknik Wina dan Yayasan Wewenang Energi Lingkungan di Würzburg, Eropa bisa sepenuhnya menghentikan penggunaan energi nuklir hingga 2030. Ini juga sesuai dengan tekad perbaikan iklim yang ditetapkan Eropa.