1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ancaman Ekstremisme Negara-negara Muslim Menguat di Medsos

8 Februari 2018

Facebook paling banyak digunakan masyarakat Pakistan untuk memusuhi kelompok-kelompok lain dan memecah belah warga. Bagaimana di Indonesia? Ikuti ulasan Thowik dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman.

https://p.dw.com/p/2sEsl
Facebook - Symbolbild
Foto: Reuters/T. White

Pandangan dan sikap ekstrem atas nama agama ini marak sekali memakai Facebook ketimbang Twitter. Facebook juga banyak dipilih kelompok ekstremis di Pakistan yang mengatasnamakan agama untuk menyerang negara.

Demikian temuan pemetaan dan monitoring Individualland, organisasi masyarakat sipil di Pakistan, yang disampaikan Gulmina Bilal dalam salah satu sesi workshop Making a Stand against Political and Religious Extremism di Gummersbach, Jerman, 28 Januari-04 Februari 2018.

"62 persen distribusi konten-konten ekstremisme bermotif agama di Facebook menggunakan gambar atau foto, 21 persennya melalui video dan 12 persen dengan update status,” papar Gulmina yang juga merupakan salah satu fasilitator dalam workshop seminggu yang diikuti lebih dari 20 peserta dari 15 negara Eropa, Asia dan Afrika yang diselenggarakan oleh Internationalen Akademie für Führungskräfte (IAF).

Tantowi Anwari BadruddinAktivis Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)
Penulis: ThowikFoto: Privat

Mirip di negara-negara lain

Dalam diskusi tersebut, temuan-temuan yang dipresentasikan Gulmina hampir mirip dengan apa yang terjadi di beberapa negara lainnya, termasuk di Indonesia yang menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sejak Pilkada DKI Jakarta sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu gencar melangsungkan persekusi di berbagai wilayah. Di Indonesia korbannya tidak hanya mengalami kekerasan, beberapa di antaranya juga kehilangan pekerjaan karena intimidasi yang dilancarkan kelompok radikal terhadap perusahaan atau tempat korban bekerja. Bahkan, ada yang dipenjara seperti dokter Otto Rajasa (Balikpapan) dan Aking Saputra (Karawang).

Gulmina melanjutkan bahwa fakta ini adalah tantangan yang terus berjalan dan hari demi hari menjadi tidak sederhana bagi masyarakat sipil dan pemerintah Pakistan untuk menghadapi penyebaran ekstremisme di media sosial dengan konten-konten ujaran kebencian. Meski demikian, ia sangat berharap negara tidak menggunakan otoritasnya untuk menindak secara semena-mena akun-akun media sosial sehingga dapat merampas kebebasan warganya untuk kritis dalam berpendapat maupun berekspresi.

Maka, sebuah konten disebut sebagai ujaran kebencian apabila menyerang seseorang atau kelompok berdasarkan kriteria tertentu yang terkait gender, ras, agama dan etnis. Ia juga membedakan ujaran kebencian atau hate speech dengan dangerous speech.

"Ujaran kebencaian terhadap gender, ras atau etnis dan agama tidak secara langsung mendorong kekerasan, meskipun dapat memicunya. Sementara dangerous speech merupakan hasutan kekerasan sebagai akibat langsung dari ujaran kebencian,” kata Gulmina.

Sehingga, sambung Gulmina, sangat penting bagi masyarakat sipil untuk meminta negara Pakistan menggunakan kriteria yang jelas ketika mengambil kebijakan menutup akun-akun penyebar kebencian. Karena itu pula, ia bersama Individualland dan organisasi masyarakat sipil lainnya terus mendorong pemerintah untuk lebih aktif membangun komunikasi dan dialog dengan masyarakat atau para aktivis dalam mengatasi ekstremisme berdasar agama dan politik agar tidak melampaui dan melanggar prinsip-prinsip kebebasan sipil.

Upaya pencegahan

Selain itu, upaya-upaya preventif perlu ditempuh negara bersama masyarakat sipil di Pakistan dengan lebih aktif mengembangkan pendidikan publik melalui literasi media, daripada mengedepankan kebijakan publik yang otoriter merampas hak dan kebebasan warga.

Peserta dari Pakistan lainnya Peter Jacob Gill menambahkan keterangan bahwa kelompok-kelompok radikal sangat massif dan sistematis dalam "menyalahgunakan” media sosial. Ia menunjukkan salah satu kelompok radikal Jamatudawa mempunyai 64 fans page Facebook untuk menyampaikan secara bersamaan agenda-agenda ekstremisme, dari yang terselubung sampai menggunakan ujaran kebencian yang terbuka.

Begitupun gerakan-gerakan radikal di Afrika yang menggunakan media sosial belakangan ini makin menguat. Tetapi, ketika pada sesi lainnya para peserta workshop dikumpulkan dalam wilayahnya masing-masing (Asia, Timur Tengah dan Afrika), mereka masih percaya kepada peran media-media mainstream untuk menyuarakan agenda-agenda demokrasi dan kebebasan. Tentu saja, strategi-strategi memanfaatkan media sosial menjadi prioritas kampanye setiap lembaga.

Sehingga, penulis yang sekaligus menjadi peserta workshop dari Indonesia yang mewakili Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) mendorong agar tidak hanya masyarakat sipil dan negara yang aktif dalam mengurangi dan mencegah tsunami ujaran kebencian dan gerakan radikalisme atas nama agama di media sosial. Adalah penting bagaimana negara maupun masyarakat sipil untuk melibatkan juga platform-platform media sosial seperti Facbook, Twitter dan Telegram, terlebih platform yang banyak digunakan anak muda sekarang seperti Instagram, Line, Snapchat dan seterusnya agar bersama-sama menangani ujaran kebencian dengan cara-cara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokasi.

Workshop yang melibatkan peserta-peserta yang di antaranya bekerja untuk Friedrich Naumann Foundation for Freedom dan para mitranya dari berbagai negara ini, baik yang aktif di organisasi masyarakat sipil maupun partai politik, tidak khusus membahas tentang hoax dan ujaran kebencian di media sosial dan bagaimana meresponnya agar tidak menciderai demokrasi digital. Tujuan kegiatan ini lebih sebagai ruang-ruang bersama untuk berbagi situasi dan pengalaman yang dihadapi masing-masing negara dalam upaya memetakan dan merespon radikalisme ataupun ekstremisme dalam proses-proses politik dan beragama serta bagaimana berstrategi untuk mengatasinya.

Sebab, radikalisme agama di beberapa negara peserta workshop mempunyai kesamaan gerakan dan aktor. Apa yang terjadi di Indonesia, misalnya, juga dihadapi negara-negara lainnya seperti Zanzibar dan Senegal yang mendapati kekuatan besar Wahabbisme dan Hizbut Tahrir (di Indonesia Hizbut Tahrir tahun 2017 lalu dilarang). Mereka pelan-pelan menguasai banyak masjid.

Untuk menangkal radikalisme yang terus menguat, di ujung workshop para peserta dari Afrika juga merasa berkepentingan untuk lebih menggalakkan dialog-dialog lintas-iman bukan saja antara Muslim dengan non-Muslim, tetapi juga antar-kelompok di internal Muslim yang berbeda-beda paham.

Maka, sangat mendesak menempuh pendekatan-pendekatan persuasif terhadap para ulama atau mullah agar aktif dalam menebarkan ajaran-ajaran toleransi dan perdamaian, standarisasi kurikulum sekolah supaya tidak dimasuki paham-paham radikal, sampai bagaimana pemerintah memajukan kebijakan yang adil dan non-diskriminatif serta memangkas jumlah pengangguran dengan mengupayakan ruang-ruang kreativitas yang produktif ataupun menyediakan sebanyak mungkin lapangan pekerjaan. Demikian beberapa kesimpulan workshop IAF di Gummersbach, Jerman, yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi gerakan masyarakat sipil untuk mengkonsolidasikan demokrasi.

Penulis: Thowik, aktivis Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), serta aktif juga di Koalisi Anti Persekusi (KAP)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.