1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aljazair Memerangi Kaum Islamis

Rayna Breuer28 Januari 2013

Aksi pembebasan sandera oleh militer Aljazair di sebuah ladang gas menewaskan 37 orang. Tiba-tiba negara itu menjadi perhatian dunia, yang terpana kaget melihat perkembangannya

https://p.dw.com/p/17RXr
Foto: Rahim ichalalen

Tidak terliput oleh media, terlupakan oleh dunia pariwisata dan terabaikan oleh politisi Barat. Selama dasawarsa terakhir, Aljazair tampak tersingkir dari panggung politik internasional hingga sebuah kelompok Islam radikal menyandera warga asing di sebuah fasilitas gas bumi.

1988, ribuan pemuda memblokir jalan-jalan di berbagai kota Aljazair. Mereka menuntut reformasi, demokrasi dan harapan untuk masa depan yang baik. "Musim semi Arab berawal di Aljazair. Para pemuda inilah yang pertama menyulut gerakan itu“, ungkap Asiem El-Difraoui, pakar Timur Tengah dan penulis buku „Gambar-gambar Berjihad“. Proses untuk membuka diri itupun secara hati-hati mulai berjalan.

Algerienkrieg 1992
Aljazair 1992Foto: AFP/Getty Images

Awal 1990-an, menjelang pemilu Partai Front Penyelamat Islam, FIS, berada di depan. Militer Aljazair mulai menguatirkan terjadinya islamisasi Aljazair. Militer yang masih berpengaruh besar ini berhasil menjegal FIS yang berusaha mengambil alih kekuasaan. Bentrok keras antara kedua pihak tak terhindar, dan pecahlah perang saudara antara sayap bersenjata FIS dan militer.

Peran militer

Pada akhirnya, pihak militer berhasil mengukuhkan posisinya. Kaum Islamis kemudian tersisihkan. Menurut Rachin Ouaissa dari Pusat Studi Timur Tengah di Universitas Marburg, kaum jihadis bersenjata itu sudah berulang kali berubah formasi. „Sebagian bergerak menuju Sahara, lalu membangun aliansi dengan gerakan teroris dari Mauritania, Mali dan Libya yang berada di kawasan Sahel.“

"Permasalahan teroris saat ini bisa dirunut ke perang saudara Aljazair“. Begitu tutur Werner Ruf, seorang pakar Afrika, peneliti perdamaian. " Saat itu, militer bertempur melawan FIS dan sayap bersenjata yang didukung kelompok-kelompok Islam lainnya." Menurut Ruf, tujuan jaringan Islamis itu adalah melakukan aksi teror di banyak tempat. „Namun ini berakibat, kaum Islamis tidak disukai masyarakat. Di pihak lain, aksi teror mereka juga menutupi tindak kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh militer Aljazair“, tambah Werner Ruf. Hampir 200.000 orang tewas dalam pertumpahan darah di masa itu.

Kaum Jihadis Aljazair di Mali

Hubungan antara konflik di Mali dan drama penyanderaan di Aljazair relatif kompleks. Namun sebagian akarnya bisa ditemukan dalam sejarah Aljazair.

Militer Aljazair kembali berhasil mengalahkan jaringan Islamis dan mengusirnya keluar dari kota-kota besar. „Tapi tidak menghancurkannya“, ungkap ilmuwan Aljazair, Rachin Ouaissa. Menurut dia, inilah sebabnya bermunculan banyak kelompok yang siap menggunakan kekerasan. Sembari membangun jaringan, mereka menggunakan kawasan Sahel yang luas dan secara struktural terkebelakang sebagai tempat persembunyian.

Karte Algerien Mali
Foto: DW

Bagi kaum jihadis yang terpenting adalah ideologi, bukan dari mana para anggota berasal. "Dalam kasus penyanderaan di Aljazair, anggota kelompok teroris itu berasal dari 8 negara. Ada yang asal Tunisia, Niger, Mesir dan tampaknya juga dari Kanada", singkap William Lawrence, pakar Afrika dari think tank, International Crisis Group.

Tuntutan kelompok penculik itu pun jelas-jelas dikaitkan dengan konflik di Mali. "Perhatian media pun teralih ke masalah itu, “begitu menurut Lawrence.

Menguatirkan Jihad?

Sementara itu, para pakar agak skeptis menilai intervensi di Mali. "Perancis kini mulai berbicara tentang mengusir kaum jihadis ke luar negeri", ungkap Lawrence.

Algerien nach dem Geiseldrama
Usai pembebasan sanderaFoto: picture alliance/abaca

Namun bila itu dilakukan, kelompok Jihadis ini akan bisa kemana? Kembali ke Aljazair? Dulu tentara Aljazair butuh sepuluh tahun untuk mengusir kaum Islamis itu ke kawasan selatan. Tampaknya lebih dibutuhkan strategi jangka panjang untuk melawan kaum radikal Islam di benua Afrika.

Lawrence menilai kaum Islamis belum bisa mempengaruhi stabilitas politik Aljazair. Dalam pemilihan terakhir dukungan untuk partai Islam tampak jelas menyusut. Sementara pihak militer masih sangat kuat dan berpengaruh, seperti terlihat pada cara mereka mengakhiri penyanderaan di instalasi gas bumi di Aljazair.