1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aktivis Perempuan India Arundhati Roy

7 Maret 2010

Emansipasi perempuan dan perjuangan untuk keadilan di bidang politik merupakan hal yang sangat berarti bagi Arundhati Roy. Penulis ini merupakan tokoh penting yang kritis terhadap pemerintah India dan globalisasi.

https://p.dw.com/p/MMIy
Perjuangan hak perempuan adalah salah satu titik berat Arundhati Roy.Foto: picture-alliance / dpa

Arundhati Roy senang sekali dengan perbandingan yang drastis. "Gambaran India sebagai negara yang toleran, liberal dan demokratis", ambilnya sebagai contoh, "merupakan salah satu penipuan terbesar di abad ini dalam bidang relasi masyarakat." Dan ia menyebutkan alasannya: "Pendudukan militer di Kashmir, mental penjajah atas wilayah-wilayah etnis di timur India, pembunuhan massal umat muslim di Gujarat delapan tahun lalu, pertentangan berdarah melawan kaum Sikh 25 tahun yang lalu. Dan sampai sekarang korbannya tidak mendapatkan keadilan!" Aktivis politik Arundhati Roy secara terang-terangan mendobrak tabu dan menentang pihak yang berkuasa.

Karena itu ia juga mencela politik ekonomi pemerintah India dengan kata-kata yang jelas. Laju pertumbuhan ekonomi tidak bisa berjalan seiringan dengan demokrasi, katanya. Perkembangan ekonomi tidak membawa kemakmuran, kata Arundhati Roy, melainkan sebaliknya: jutaan orang digusur dari tanahnya. Bahan baku diperas tanpa ampun. Ekosistem dihancurkan. Dan orang kecillah yang selalu harus menangung akibatnya: "Sistem pasar bebas telah menghapuskan hak-hak para pekerja dan memojokkan kaum miskin ke titik darah penghabisan", demikian tulisnya dalam karya terbarunya "Dari Bengkel Demokrasi"

Arundhati Roy secara konsekuen mengkritik kapitalisme dan globalisasi dalam bentuk apapun: pembangunan bendungan penahan raksasa, perusakan lingkungan hidup, perlucutan senjata atom, perang dan teror. Untuk melawan hal-hal tersebut, ia menggunakan seluruh koneksinya, kepribadiannya yang mempesona, dan segenap kemampuan serta kekuatannya.

Kata-kata drastis

Semangat berjuang ini telah membuat Roy sebagai salah satu tokoh terpenting dalam gerakan internasional mengecam globalisasi. Suaranya tidak hanya didengar di India, tetapi juga di Amerika Serikat dan Eropa.

Banyak pemerintahan Barat yang sudah membenci Roy sejak lama. Karena paling tidak sejak perang di Afghanistan, Roy juga menggunakan posisinya yang dinilai banyak orang untuk mengkritik politik ekonomi dan militer Uni Eropa, NATO, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. "Kadang negara-negara demokrasi, yang mengatakan dirinya merupakan pelindung moral, justru mendukung dan menguatkan diktatur militer dan rezim totaliter", tulisnya dalam sebuah karangan. "Perang-perang di Irak dan Afghanistan, yang menewaskan rausan ribu orang dan membumiratakan banyak kota, dilancarkan atas nama demokrasi."

Sangat luar biasa, bahwa Arundhati Roy berjuang sendiri sebagai perempuan melawan penguasa. Oleh karena itu, ia dibenci para pemimpin. Tetapi perempuan berusia 49 tahun menerimanya dengan santai: "Saya menikmati tampil di garis depan dan melawan api", demikian moto tarung perempuan ini.

Di saat bersamaan, ia memberikan suara bagi kaum lemah melalui perjuangannya melawan ketidakadilan dan penindasan. Dengan ini ia dihormati dan dicintai jutaan orang di India. Ini adalah salah satu upah terbesarnya.

Pemikir tidak konvensional

Bagaimana seorang perempuan dari masyarakat yang didominasi tradisi dan budaya kasta bisa lebih berani dari orang lain dalam mengkritik keras pihak lain terkait tema-tema besar di zaman ini? Jawabannya ia berikan sendiri dalam novel debutnya "Tuhan Hal-Hal Kecil", yang membuatnya terkenal dalam sekejap di dunia internasional tahun 1997. Dalam novel ini ia juga menggunakan sebagian dari riwayat hidupnya sendiri. Seperti tokoh utama, Rahel, Arundhati Roy juga tumbuh besar di kota kecil Ayemenem, di selatan India. Kedua tokoh ibu, baik yang fiktif maupun yang asli, berani cerai dari suaminya dan membesarkan anaknya sendiri. Suatu hal yang tidak lazim di masyarakat India.

Arundhati Roy hidup diluar batas kasta atau agama, dan diluar segala ikatan masyarakat. Ketika ia berusia 16 tahun, Roy pergi sendiri ke New Delhi dan belajar untuk mengandalkan kemampuan menilainya sendiri. Ia melihat realitas di masyarakat, keterbatasan sistem kasta yang sering kali mempunyai akibat buruk. Dan ia juga berbicara mengenainya. Ini juga merupakan salah satu alasan, mengapa novelnya sukses di seluruh dunia. Di tahun penerbitannya 1997, Roy mendapatkan penghargaan Inggris terkenal di bidang sastra, Booker Prise.

Penerbitnya mendorong Roy untuk menulis novel lanjutan. Tetapi ini ditolaknya karena ia ingin berjuang semata-mata bagi tujuan politisnya. Kebebasan nurani ini secara konsekuen mendampingi Roy: Tahun 2006 Arundhati Roy dengan alasan politis menolak menerima penghargaan sastra tertinggi di India. Kepada Akademi Sahitya, yang dibiayai pemerintah, ia menulis, bahwa penghargaan tersebut tidak bisa ia terima karena rasa muaknya terhadap banyak aspek dari politik pemerintah India sangatlah besar.

Ana Lehmann / Anggatira Gollmer
Editor: Andriani Nangoy