1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aktivis Khin Ohmar Raih Hadiah Anna Lindh

18 Juni 2008

Khin Ohmar lantang berteriak jika di tanah airnya Myanmar terjadi pelanggaran hak azasi manusia. Berkat dedikasinya bagi demokrasi dan kebebasan, Khin Ohmar menerima penghargaan Anna Lindh dari Swedia.

https://p.dw.com/p/EMDL

Dia merasa sangat bahagia dan merasa sangat dihargai, demikian komentar Khin Ohmar mengenai penghargaan Anna Lindh yang diterimanya. Ohmar telah lama mengabdikan hidupnya untuk memperjuangkan demokrasi di negaranya. Dia juga sangat tajam mengritik pemerintah junta militer Myanmar.

Ohmar mengaku sangat terpukul dan marah melihat sikap junta militer menangani korban bencana badai Nargis. Ketika itu, pemerintah militer memblokir bantuan internasional atau menundanya. Suatu hal yang disebut Khin Ohmar sebagai „kejahatan melawan kemanusiaan“. Belum lagi, junta militer tetap menggelar referendum konstitusi di tengah situasi pasca bencana. Emosi Khin Ohmar meletup ketika dia dan para disiden lainnya menggelar acara bagi korban badai Nargis di Bangkok.

"Itu merupakan saat yang berat bagi saya dan kami. Karena kami harusnya kembali ke tanah air. Kami ingin, tapi tidak bisa. Karena kami tidak bisa, ini merupakan tugas dan tanggung jawab kami untuk melakukan semua hal yang mungkin di luar negeri,“ tegasnya dengan suara bergetar.

Khin Ohmar meninggalkan Myanmar di tahun 1988, setelah pemerintah militer waktu itu melakukan serangan berdarah terhadap aksi demonstrasi damai. Mahasiswa ketika itu menjadi penggerak utama demonstrasi, diikuti oleh guru, biksu, para pekerja, dan petani. Militer langsung membungkam para demonstran dengan letusan senapan. 3000 orang tewas. Ribuan pengunjuk rasa melarikan diri dari Myanmar, termasuk Khin Ohmar. Di tahun 1988, Khin Ohmar yang baru berusia hampir 20 tahun itu melarikan diri ke perbatasan Thailand. Selanjutnya, Khin Ohmar memohon suaka politik ke Amerika Serikat dan hidup di sana selama beberapa tahun. Kemudian, Khin Ohmar kembali ke Thailand.

Khin Ohmar menganggap masyarakat internasional berkewajiban untuk menolong warga Myanmar. Pasca bencana badai Nargis, Khin Ohmar dan para disiden lainnya mengusulkan adanya campur tangan kemanusiaan internasional.

"Apakah PBB menginginkan Rwanda yang lain? Tentu saja dengan situasi yang berbeda. Di Rwanda waktu itu terjadi bencana yang disebabkan oleh manusianya. Sementara memang di Myanmar yang terjadi bencana alam, namun situasinya memburuk akibat ulah manusia. Apakah PBB ingin membiarkan itu terjadi atau ingin mencegahnya? Jika PBB sebagai masyarakat internasional tidak, maka kami menuntut campur tangan pemerintah negara mana pun yang melakukannya,“ pungkasnya.

Sejumlah pengamat menjelaskan, perdebatan mengenai kekurangan barang bantuan sangat dipolitisasi. Khin Ohmar juga sependapat.

"Di Myanmar semuanya berujung politik. Rezim ini menguasai sudah lebih dari 40 tahun dan memerintah dengan tangan besi. Memang, bencana alam dapat terjadi di negara mana pun. Tapi, apa yang terjadi jika negara kami demokratis dan para korban dapat menerima pertolongan yang sesuai? Setidaknya kami dapat mencegah jatuhnya lebih banyak korban.“(ls)