1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aksi Protes Paksa Mubarak Mundur

11 Februari 2011

Presiden Mesir Husni Mubarak akhirnya mundur hari Jumat (11/02). Sehari sebelumnya ia masih mencoba bertahan di kursi kekuasaan.

https://p.dw.com/p/10G0N
Husni Mubarak ketika dilantik tahun 1981Foto: AP

Harian Inggris Times menyoroti upaya Presiden Mesir Husni Mubarak bertahan di kursi kekuasaan:

Setelah 30 tahun berkuasa terlihat jelas, bahwa Mubarak tidak mampu melepaskan kursi kekuasaan begitu saja. Jadi orang bertanya-tanya, mengapa ia muncul di televisi pada saat-saat menentukan, lalu memberi pidato tanpa isi yang jelas. Kemungkinan besar, Raja Abdullah dari Saudi Arabia tetap mendukungnya. Sebab sang raja berusaha mengecilkan pengaruh Amerika Serikat dan mengatakan, ia akan menyediakan dana, seandainya pemerintah Obama memotong bantuan militer untuk Mesir. Sekarang, Amerika Serikat harus tetap menuntut reformasi. Pemerintah Mesir harus berbicara dengan semua kelompok oposisi dan menyepakati transisi menuju demokrasi. Para demonstran memang sudah bertekad melanjutkan aksinya, sampai Mubarak mundur.

Harian Italia La Stampa menilai, pidato Mubarak adalah tamparan bagi presiden Amerika Serikat Barack Obama:

Husni Mubarak lebih menghargai dukungan dari Saudi Arabia ketimbang kritik dari Washington. Jadi Presiden AS Barack Obama menghadapi tantangan baru. Pemerintahan Saudi Arabia dan Mesir kelihatannya ingin memanfaatkan krisis saat ini untuk keuntungan sendiri. Obama akhirnya membatalkan rencana membahas situasi pasca Mubarak di Mesir. Ia mengumpulkan anggota Dewan Keamanan Nasional untuk melakukan rapat khusus, menghadapi situasi paling pelik sejak awal masa pemerintahannya. Mereka membahas tantangan yang dilemparkan Husni Mubarak, yang sampai 25 Januari lalu menjadi mitra terpenting Amerika Serikat di dunia Arab. Yang dipertaruhkan sekarang tidak hanya masa depan Mesir, melainkan juga wibawa Amerika Serikat di kawasan itu.

Harian Jerman tageszeitung menyoroti perkembangan politik di Tunisia yang tetap rumit:

Tunisia masih belum juga tenang. Pemerintahan transisi sekarang memanggil cadangan tentara di seluruh negeri agar melaporkan diri. Ini adalah petunjuk, bahwa pemerintah masih belum sepenuhnya percaya pada polisi. Tapi para intel masih tetap berkeliaran dan mengamati gerakan oposisi. Ada dua bahaya besar yang saat ini mengancam Tunisia. Pertama, jaringan diktatur yang masih terorganisasi dengan baik bisa menyelusup ke berbagai partai baru. Kedua, para pendukung diktatur mencoba menimbulkan kekacauan, sehingga para tokohnya bisa muncul sebagai penyelamat dalam situasi darurat. Mungkin saja mereka mendapat dukungan dari Eropa, yang merupakan mitra lama Tunisia.

Harian Perancis Le Monde mengulas tentang situasi di Maroko:

Pemerintah Maroko sangat menahan diri dalam menanggapi tergulingnya rejim Ben Ali di Tunisia. Polisi Maroko juga tampil makin lunak. Mereka melepas helm dan tongkat pemukul ketika mengamati para demonstran. Aksi protes digelar kalangan oposisi, termasuk kelompok terpelajar yang menganggur. Mereka berdemonstrasi untuk menunjukkan solidaritas pada revolusi di Mesir. Tapi para pengeritik yang paling keras pun di Maroko, tidak mempertanyakan monarki. Mereka menuntut sistem monarki parlementer, seperti di Inggris atau Spanyol. Maroko masih jauh dari situasi di Tunisia.

Hendra Pasuhuk/dpa/afp
Editor: Kostermans