1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

PRT Bukan Budak

1 Desember 2017

Perbudakan belum lenyap dari muka Bumi. Berapa jam pekerja rumah tangga Anda bekerja? Apakah gajinya telah sesuai dengan jam kerja? Inilah opini Wahyu Susilo.

https://p.dw.com/p/2o3ve
Deutschland Polen Eine Putzfrau packt aus
Foto: picture alliance/dpa

Salah satu tema menarik yang mengemuka dalam Sidang Majelis Umum PBB bulan September 2017 yang lalu adalah persoalan perbudakan modern. Salah satu bahasan yang berlangsung menyangkut soal itu adalah: "High Level Leaders Event: A Call to Action to End Forced Labour, Modern Slavery and Human Trafficking". Di dalam ‘event‘ ini, ada inisiatif petisi global yang diajukan oleh Perdana Menteri Inggris yang memimpin sesi tersebut. Petisi yang didukung oleh 37 negara ini bertujuan menghapus praktik perbudakan modern di muka bumi ini pada tahun 2030.

Pada saat yang hampir bersamaan Alliance 8.7 (Aliansi global multistakeholder untuk penghapusan perbudakan modern) meluncurkan laporan mengenai ‘Global Estimates on Modern Slavery and Exploitation Child Workers‘ yang diinisiasi oleh Global Slavery Index, ILO dan IOM. Laporan ini memperlihatkan peta masalah perbudakan modern dan eksploitasi buruh anak di berbagai sektor.

Wahyu Susilo, pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.@wahyususilo
Penulis: Wahyu SusiloFoto: privat

Perbudakan modern juga terjadi di Indonesia

Bagi Indonesia, keprihatinan global atas masih terjadinya praktik perbudakan modern terasa sangatlah relevan dengan situasi kerentanan yang dihadapi oleh warga negara Indonesia yang terperangkap dalam kondisi tersebut.

Kembali kita diingatkan atas tragedi kebakaran yang melanda gudang pabrik petasan di Kosambi, Tangerang yang menewaskan sekitar 48 pekerja. Tragedi ini membuka fakta praktik perbudakan masih terjadi di industri-industri berbahaya dan masih melibatkan pekerja anak serta dalam kondisi kerja yang tersekap, dimana seluruh pintu gerbang terkunci rapat-rapat.

Sebelumnya, sepanjang tahun 2014-2016, Global Slavery Index menempatkan Indonesia sebagai 10 besar negara dengan jumlah warga negara yang banyak berada dalam situasi perbudakan modern. Situasi ini dialami utamanya oleh mereka yang bekerja di sektor perkebunan, perikanan dan pekerja rumah tangga.

Belum ada perlindungan

Estimasi dari hasil kajian ILO dan Jala PRT menunjukkan bahwa sekitar 10 juta warga negara Indonesia bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Indonesia dan menurut data Kemnaker, Kemlu dan BNP2TKI sekitar 5 juta warga negara Indonesia bekerja ke luar negeri sebagai pekerja rumah tangga migran. Inilah wajah warga negara Indonesia yang potensial terjebak dalam praktik perbudakan modern dan mayoritas diantara mereka adalah perempuan dan anak!

Jika akhir bulan lalu, DPR-RI setelah selama hampir 7 tahun baru selesai menuntaskan Undang-undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, maka hingga saat ini belum ada perkembangan yang berarti dari proses legislasi untuk memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga. Dalam proses legislasi di parlemen (DPR-RI) melalui skema Prolegnas (Program Legislasi Nasional), RUU ini hanya timbul tenggelam untuk diperdebatkan masuk dalam daftar prioritas atau daftar regular, namun belum pernah sekalipun berhasil menjadi RUU yang dibahas substansinya.

Inilah Kisah TKW Korban Perbudakan di Hong Kong

Realitas ini tentu ironis, apalagi jika merunut sejarah ke belakang. Pada bulan Juni 2010, Presiden RI waktu itu, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi tamu penting di Sidang Tahunan ILO (International Labour Conference) yang membahas instrumen perlindungan dan kerja layak untuk pekerja rumah tangga. Dalam sidang tersebut, SBY menjanjikan Indonesia segera memiliki perundangan mengenai perlindungan pekerja rumah tangga. Namun janji tinggal janji, hingga akhir masa pemerintahnya, instrumen perlindungan untuk pekerja rumah tangga belum mewujud.

Di masa pemerintahan Jokowi, janji Nawacita juga menyebut adanya upaya untuk memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga sebagai komitmen pemerintahan Jokowi dalam perlindungan perempuan dan anak. Namun demikian, janji tersebut juga belum terwujud, bahkan proses legislasinyapun macet.

Baca: Perbudakan Modern atas Buruh Migran Indonesia

Mengapa perlu menghadirkan instrumen yang memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga?

Karena hingga saat ini semua UU ketenagakerjaan yang ada belum memberikan pengakuan dan –apalagi- perlindungan bagi pekerja rumah tangga, sementara dalam realitasnya sektor kerja ini memiliki kerentanan akan eksploitasi, termasuk soal jam kerja dan pengupahannya. Belum lagi soal tindak kekerasan, pelecehan seksual dan perkosaan. Atas situasi inilah, Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga ditetapkan.

Keberadaan UU mengenai Perlindungan Pekerja Rumah Tangga juga menjadi hal yang penting dan memberi legitimasi yang kuat bagi Indonesia untuk mendesakkan adanya perlindungan pekerja rumah tangga migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Dalam berbagai negoisasi soal hal ini, Indonesia seringkali mendapatkan argumen yang mendelegetimasi tuntutan perlindungan PRT migran, karena di dalam negeri sendiri pun belum ada instrumen perlindungan untuk pekerja rumah tangga.

Nah, jika pemerintahan Jokowi ingin menjalankan amanat konstitusi dan visi misi Nawacita memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia, --terutama dalam mengakhiri  praktik perbudakan--- maka harus ada langkah-langkah konkret untuk mengakhiri diskriminasi dan memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga. Salah satu jalannya adalah segera membahas tuntas RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga serta meratifikasi Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.

Penulis: Wahyu Susilo (ap/vlz)

Pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.