1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

160811 Jordanien Verfassungsänderung

17 Agustus 2011

Rencana mereformasi undang-undang merupakan langkah bersejarah, ungkap raja Yordania Abdullah II dengan semangat ketika ia mengumumkan reformasi luas untuk negaranya.

https://p.dw.com/p/12IOA
epa02867056 Jordan's King Abdullah II delivers a speech at the Raghadan Palace in Amman, Jordan, on 14 August 2011. King Abdullah II on Sunday announced that a royal committee had adopted "history-making" amendments to the constitution that would institutionalize political reforms. The amendments included the setting up of a constitutional court, the supervising of general elections by an independent committee and the trial of cabinet ministers in civil courts, he told a meeting at the royal palace shortly after receiving the panel's recommendations. EPA/JAMAL NASRALLAH +++(c) dpa - Bildfunk+++
Raja Yordania Abdullah II umumkan reformasi undang-undangFoto: picture alliance/dpa

Untuk mewujudkan rencananya dibentuk sebuah komisi pemilihan. Selain itu, pemerintah Yordania tidak boleh memberlakukan hukum darurat tanpa melibatkan parlemen. Akan tetapi, oposisi tidak puas dengan semua rencana ini. Mereka menyebutnya sebagai kosmetik belaka. Pakar politik sekaligus pengritik rezim, Labib Kamhawi mengungkapkan, „raja mengumumkan reformasi sekedar untuk menenangkan rakyat. Ia membuat konsesi minimal, agar situasinya tidak keluar kendali seperti di Tunisia, Mesir, Libya dan Suriah. Sistem pemerintah Yordania melihat perubahan ini sebagai sesuatu yang unik dan baru. Karena selama ini raja selalu menjadi pusat pemerintahan. Apa yang dikatakannya berlaku sebagai undang-undang.“

Sejak 1999 Abdullah menjadi raja Yordania dan memerintah sebagai kepala kerajaan absolut. Ia tidak hanya menjabat sebagai kepala negara dan panglima tertinggi militer, akan tetapi juga terlibat langsung dalam urusan sehari-hari pemerintahan. Termasuk memilih dan memberhentikan menteri. Ia yang menentukan kebijakan politik. Meskipun dengan reformasi yang diusulkannya, parlemen menjadi lebih kuat, posisi raja tetap, tutur Martin Beck dari Yayasan Jerman Konrad-Adenauer di Amman, „langkah ini jauh melebihi undang-undang lama. Tetapi, usulannya masih sangat kurang dengan apa yang dituntut oposisi. Mereka menuntut sebuah monarki konstitusional dengan seorang perdana menteri yang dipilih langsung oleh parlemen.“

Ketika gerakan demonstrasi menuntut pemilihan bebas, komisi yang dibentuk raja itu tidak menanggapinya. Pemimpin pemerintah akan tetap dipilih oleh raja. Selain itu, pengaruh dinas rahasia dan aparat keamanan yang didominasi kubu konservatif tidak akan dikurangi.

Sehubungan dengan revolusi Arab, warga Yordania berdemosntrasi menentang kemiskinan, kesenjangan sosial dan korupsi yang semakin meluas. Kritikan terhadap kekuasaan raja Yordania yang dianggapnya terlampau besar, juga menjadi lantang. Aparat keamanan akhirnya turun tangan dan melukai puluhan pengunjuk rasa.

Raja Abdullah langsung bereaksi dan menunjuk seorang perdana menteri baru, Maruf Bachit. Ia adalah pensiunan militer. Dulu, selama bertahun-tahun, ia menjadi penasehat pimpinan dinas rahasia Yordania. Ketika itu, Bachit menjanjikan reformasi undang-undang. April lalu komisi raja Abdullah akhirnya memgabil-alih tugas itu. Walaupun Bachit tidak mendapat dukungan banyak dari rakyat dan opososi tidak puas dengan reformasi raja Abdullah, tidak ada pihak yang menuntut dihapuskannya sistem otokratis di Yordania. Kembali Martin Beck, "memang semua mengritik cara raja Abdullah menjalankan tugasnya. Tetapi, tidak ada orang lain yang lebih mampu menjalankan monarki Yordania daripada dia.“

Mengapa banyak yang berpendapat demikian, dapat dilihat dari komposisi penduduk Yordania. Sekitar lima puluh persen penduduk Yordania adalah penduduk lama yang disebut „Yordania Timur“ dan mereka memiliki hubungan erat dengan kerajaan. Sedangkan setengahnya lagi adalah warga Palestina yang melarikan diri ke Yordania dan mereka yang hidup di Yordania adalah generasi kedua atau ketiga. Mereka ini, menurut undang-undang pemilu, hampir tidak memiliki hak berbicara.

Labib Kamhawi berpendapat, rezim Yordania tidak akan memulai reformasi berikutnya, jika tidak ada tekanan dari jalan. Adalah tugas warga Yordania, khususnya kalangan pemuda, yang harus menekan pemerintah untuk melakukan reformasi, tambah Kamhawi.

Diana Hodila/Andriani Nangoy Editor: Hendra Pasuhuk