1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Fenomena Post-Truth di Indonesia

9 Februari 2018

Fantasi dan realitas kerap tercampur dalam benak kita, Sayangnya, hal itu sering disalahgunakan dalam politik, agama dan apapun untuk menjual kebahagiaan semu. Berikut opini Ananda Sukarlan.

https://p.dw.com/p/2rc3Z
Senioren Hände spielen Klavier
Foto: picture-alliance

Pada tahun 2016, Kamus Oxford mentasbihkan kata "post-truth" sebagai "kata tahun ini". Dari kamus Oxford dijelaskan, kata ini untuk mendefinisikan situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif.

Dengan kata lain, konsep yang sudah mapan menjadi tidak penting atau tidak relevan. Kalau saya boleh membuat definisi sendiri, post-truth itu istilah inteleknya dari kata bahasa Inggris yang sudah mendunia, yaitu "bullshit" yang diproduksi secara massal dan dikemas sedemikian rupa sehingga akan lebih mudah dipercaya oleh orang banyak. Hanya saja, bullshit harusnya lebih mudah terdeteksi lewat hidung, sedangkan post-truth lewat mata dan telinga.

Selain sebagai komponis & pianis, A.Sukarlan juga aktif sebagai blogger di Andy Skyblogger's Log , dan membuat vlog di Youtube channelnya Ananda Sukarlan. Twitter & Instagramnya @anandasukarlan bukan hanya mengulas tentang musik, tapi masalah sosial, budaya dan politik pada umumnya. Ia membagi waktunya antara Spanyol (di rumahnya di perbukitan di Cantabria) dan Indonesia (di apartemennya di Jakarta). IG & twitter @anandasukarlan
Penulis: Ananda Sukarlan Foto: privat

Kita dapat membuat orang yakin dan percaya melalui banyak hal, tapi hal yang paling efektif saat ini adalah melalui agama. ‘Ahli' dalam bidang ini di Indonesia, Buni Yani, yang mem-posting cuitannya di Twitter pada tgl 6 Desember 2012: "Massa gampang ditipu. Asal berbau agama, semua produk laku: mulai sinetron, lagu, merchandise, ayat. Hati-hati ada kapitalisme di baliknya."

Lalu "Sebagai negara Muslim terbesar, Indonesia adalah pasar terbesar produk berbau Islam. Di sini apa saja bisa laku asal mengatasnamakan Islam."

Di sini saya melihat formula untuk menyerang-balik post-truth, yaitu dengan elemen-elemen yang telah ia sebutkan.

Jangan padamkan api dengan api

Memang kita tidak bisa menggunakan agama lagi karena itu sama saja dengan memadamkan api dengan api, tapi dengan semua yang berbau konsumsi hiburan dan seni yang ia sebut: sinetron, lagu, merchandise. Kenapa?

Karena kita mengkomunikasikan logika dengan kata-kata, tapi kita menyampaikan perasaan melalui seni. Musik berbicara langsung ke hati atau perasaan. Sementara  hati itu tidak terpengaruh oleh suku, ras, pandangan politik dan agama.

Semua orang merasakan kesedihan dan kebahagiaan yang sama, sumber perasaan itu saja yang berbeda. Kematian seorang diktator menyebabkan kesedihan pengikutnya dan kebahagiaan para korbannya, dan jika sang diktator tetap hidup, kenyataan itu bisa saja disampaikan secara fiktif lewat panggung teater, musik atau film untuk memicu perasaan yang sama walaupun penonton tahu bahwa itu fiktif.

Masalahnya, post-truth berkaitan erat dengan populisme, suatu strategi politis yang "berpihak pada rakyat (kecil)". Inilah strategi yang telah memenangkan Donald Trump, mensukseskan Brexit, referendum Katalunia dan kemenangan di Pilkada DKI 2017. Karena "memihak rakyat kecil", kekacauan pun terjadi, contoh jelas di Jakarta adalah memperbolehkan pedagang kaki lima di trotoar dan memasukkan becak lagi ke jalan-jalan raya. Populisme terkait dengan berkomunikasi lewat cara menggunakan kata-kata yang indah, sederhana dan membuai.

Baca juga:

Penghargaan 'Fake News' Ala Trump Dikritik Sebagai Warisan Stalin

Facebook: Rusia Bayar Iklan Politik Selama Kampanye Pilpres AS

Populisme juga diterapkan di dunia seni

Musik harus disederhanakan menjadi melodi yang sederhana dan iringan menghentak-hentak, dengan lirik lagu yang juga harus sangat mudah dicerna tanpa nilai filosofis dan puitis yang dalam. Yang penting musik itu menghibur dan repetitif dalam menyampaikan pesannya.

Bukan hanya itu, di sini populisme harus diterapkan bukan hanya ke konsumen tapi juga ke produsen. dalam hal ini pelaku seni atau istilah kerennya "seniman". Padahal, seniman itu adalah suatu profesi di mana seseorang harus memiliki kualitas untuk itu. Dalam populisme, semua orang adalah, dan berhak mengakui dirinya sebagai seniman, tanpa pengetahuan, pendidikan dan bakat untuk itu.

Seni harus digunakan untuk mengakomodasi semua orang sebagai pelaku dan penerima. Itu sebabnya Post-truth membawa dampak sangat negatif terhadap seni. Karya seni yang "tinggi" seperti puisi Chairil Anwar, musik Bach atau film Oliver Stone tidak lagi dapat diterima, apalagi dicerna, oleh kaum "rakyat" yang memang harus diturunkan kelas intelektualitasnya oleh para politikus populis untuk bisa lebih mudah menerima post-truth. Berbagai istilah disederhanakan definisinya, seperti "komunis" berarti "tidak ber-Tuhan" dan penyebab gempa bumi adalah kaum LGBT. Isi kitab suci pun harus disederhanakan, dan ini berarti rentan untuk diplintir, dan jika seseorang tidak percaya kitab sucinya, orang itu akan masuk neraka yaitu tempat penyiksaan yang abadi.

Pada akhirnya, fantasi dan realitas memang selalu tercampur dalam benak kita, seperti kata Einstein, "Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan". Sayangnya, pernyataan ini kini telah disalahgunakan dalam politik, agama dan apapun untuk menjual kebahagiaan.

Penulis: Ananda Sukarlan (ap/vlz)

Selain sebagai komponis & pianis, A.Sukarlan juga aktif sebagai blogger di Andy Skyblogger's Log , dan membuat vlog di Youtube channelnya Ananda Sukarlan. Twitter & Instagramnya @anandasukarlan bukan hanya mengulas tentang musik, tapi masalah sosial, budaya dan politik pada umumnya. Ia membagi waktunya antara Spanyol (di rumahnya di perbukitan di Cantabria) dan Indonesia (di apartemennya di Jakarta).

IG & twitter @anandasukarlan

Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.