1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

60 Tahun UNHCR

14 Desember 2010

Berbagai tantangan baru harus dihadapi UNHCR. Di usianya yang ke-60, Badan PBB untuk urusan pengungsi ini tak cuma harus menangani masalah di negeri-negeri berbahaya. Namun juga di negara-negara maju.

https://p.dw.com/p/QYcL
Foto: AP

Begitu banyak krisis di dunia ini, dan jutaan manusia dari waktu ke waktu dipaksa menjadi pengungsi. Ini tantangan berat bagi UNHCR. Tetapi setidaknya sejak didirikan 60 tahun lalu, badan pengungsi PBB ini sudah membantu lebih dari 50 juta pengungsi di seluruh dunia untuk membangun kembali hidup mereka. Pantas kalau mereka dianugerahi dua Hadiah Nobel Perdamaian.

Pengungsi, Masalah Berkelanjutan

Ironisnya, UNHCR justru lebih sering bekerja dalam semacam situasi kedaruratan atau kesementaraan. Wakil Ketua UNHCR, Alexander Aleinikoff, menyatakan, ini karena selama berpuluh tahun kebanyakan orang yakin bahwa pengungsian merupakan masalah sementara yang akan segera terpecahkan.

"Baru beberapa tahun lalu saja, kami akhirnya membangun dasar yang permanen, dengan pengakuan mengenai hal yang tak menyenangkan bahwa masalah pengungsian kemungkinan akan terus menyertai kita selamanya. Bahwa akan selalu ada orang yang meninggalkan negeri mereka dengan berbagai alasan. Dan mereka akan selalu memerlukan perlindungan, bantuan dan dukungan internasional," papar Alexander Aleinikoff.

Tidak Lagi Hanya Menangani Pengungsi Individu

Pada tahun 1956, untuk pertama kalinya UNHCR dihadapkan pada situasi darurat besar-besaran. Tatkala tentara Soviet melindas kebangkitan rakyat Hungaria. Ini berakibat pada pengungsian sekitar 180 ribu rakyat Hungaria ke negara-negara tetangga.

Bekas juru bicara UNHCR yang kini menjadi konsultan, Ron Redmond, menyebut hal ini sebagai titik balik lembaga PBB itu. "Sebelumnya lembaga itu hanya menangani kasus-kasus individual. perorangan yang dikejar-kejar dan membutuhkan perlindungan. Namun sekarang, selalu muncul pengungsi dalam jumlah besar yang meninggalkan negaranya dengan alasan yang sama. Maka UNHCR pun mulai menangani para pengungsi sebagai suatu kelompok besar orang. Itulah tugas utama kami sekarang, sesuatu yang kami sebut prima facie."

Gelombang pengungsian besar-besaran lainnya terjadi tahun 1960an, dengan terjadinya dekolonisasi Afrika. Di Asia, muncul pula gelombang Manusia Perahu. Lalu pengungsian jutaan rakyat di berbagai benua oleh berbagai konflik. Juga di Indonesia

Yang menyedihkan, kata Redmond, banyak kasus pengungsian yang terus menyisakan persoalan. Misalnya Kongo, yang sampai sekarang masih menderita sebagai buntut pengungsian Huttu yang meninggalkan Rwanda, setelah rezim genosida Huttu di negeri itu jatuh.

Masalah Yang Dihadapi

Rumitnya persoalan zaman sekarang dibanding 60 tahun lalu tergambar dari badan UNHCR sendiri. Enam puluh tahun lalu UNHCR memiliki 30 staf, dengan anggaran 300.000 Dollar, untuk menangani sekitar sejuta pengungsi Eropa. Sekarang terdapat 7.000 staf, dengan anggaran lebih dari tiga miliar Dollar, bekerja di lebih dari 120 negara, untuk menangani sekitar 30 juta pengungsi.

Menurut juru bicara UNHCR, Adrian Edwards, lembaga itu harus bisa mengerahkan bantuan darurat dalam tempo 72 jam, "Kami tidak berbicara tentang peralatan penyelamatan di sini. Kita bicara tentang tempat penampungan, tenda, ember, terpal, kain plastik, kelambu. Apa pun untuk memastikan bahwa orang bisa bertahan sampai tibanya bantuan lebih memadai."

Masalah lain adalah bahaya yang mengancam para staff UNHCR. Di masa lalu, lambang PBB melindungi para pekerja kemanusiaan untuk bepergian dengan bebas dan aman dalam situasi konflik. Tetapi sekarang banyak pihak yang berkonflik yang tidak menghormati netralitas dan sifat kemanusiaan para pekerja PBB. Tak sedikit pekerja kemanusiaan PBB jadi korban penculikan dan pembunuhan saat menjalankan tugas.

Tantangan lain adalah perlindungan terhadap para pencari suaka. Dari waktu ke waktu, negara-negara maju makin memperketat pembatasan terhadap para pencari suaka. Tak jarang mereka memulangkan orang-orang yang benar-benar membutuhkan perlindungan internasional.

Lisa Schlein/Ging Ginanjar

Editor: Carissa Paramita