1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

25 Tahun Setelah Demonstrasi Berdarah

11 Agustus 2013

25 tahun kemudian, anda masih bisa melihat ketakutan di mata dua dokter muda yang membawa seorang murid perempuan yang bersimbah darah, melewati jalanan di mana para tentara dengan brutal membubarkan demosntran.

https://p.dw.com/p/19N88
Foto: ullstein bild-Heritage Images/Alain Evrard

Foto itu menjadi terkenal ketika menjadi sampul majalah Newsweek, menjadi symbol kekalahan pemberontakan 1988 di sebuah negara bernama Burma. Berakhirnya pemberontakan memperkuat militer, membuat ribuan aktivis dikirim ke penjara dan membuat Aung San Suu Kyi kelak meraih hadiah Nobel Perdamaian.

Hanya kini, Win Zaw yang datang dari sebuah generasi dari peristiwa yang dikenal sebagai “8.8.88,“ mulai menceritakan semua itu.

Ia adalah dokter di balik peristiwa itu, kacamatanya melorot ke hidung ketika ia berjuang memapah gadis berdarah itu. Hari ini, dua tahun setelah Junta Militer Myanmar menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan setengah sipil, ia masih enggan untuk mengingat kembali hari itu. Dan bagi banyak orang Myanmar, sejarah yang menyakitkan itu masih sedikit lebih dari sekedar sebuah bisikan.

“Pintu hanya terbuka sedikir,” kata Win, yang kini berusia 48 tahun, sambil mengambil jeda panjang saat mencoba menemukan kata-kata yang tepat. ”Saya ingin bicara, demi sejarah, dan mereka yang mati. Di dalam hati, saya merasa ini adalah waktu yang tepat. Tapi saya masih merasa tidak aman.”

Ini adalah kisah seperti di banyak Negara yang berjuang dengan kengerian mereka. Kapan waktu yang tepat untuk untuk mendorong percakapan tersembunyi itu ke ruang terbuka, untuk menghadapi masa lalu dan mengatasinya?

Myanmar sebagaimana Cina adalah sebuah Negara di mana kekuasan diktator kini menjadi kurang keras, meski masih jauh dari benar-benar demokratis. Dan sejarah Myanmar telah membesarkan generasi yang pesimis.

Protes atas Jenderal Ne Win

Setelah Jenderal Ne Win merebut kekuasaan lewat kudeta 1962, negara itu berubah dari salah satu yang terkaya di Asia menjadi negara paling miskin di dunia.

Ketidakpuasan atas kebijakan Ne Win yang korup dan tidak efisien mulai tumbuh tahun 1987 dan memanas hingga 8 Agustus 1988, saat seluruh negeri melakukan mogok dan meluaskan protes dan dengan cepat direspon oleh militer dengan tindakan represif.

Tidak ada pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan, yang diperkirakan meninggalkan 3 ribu korban tewas.

Kamis pekan ini, ribuan orang berkumpul untuk berbicara, menggelar pameran dan berpawai untuk mengenang kerusuhan 1988.

“Saya masih 11 tahun saat peristiwa 88 terjadi, dan saya tidak ingat banyak kecuali bahwa orang-orang berteriak `Karena Kami!`“ kata Aung Thaw, seorang penjual komputer berusia 36 tahun. Ia mengatakan bergabung dengan demonstrasi karena “Saya ingin menghormati mereka yang dengan berani mengambil bagian dalam gerakan bersejarah.“

Itu terjadi selama protes berlangsung yang diikuti kudeta bulan September saat Win Zaw, yang kini menjadi seorang dokter, mendengar para demonstran ditembak tentara dan membutuhkan bantuan medis. Bekerjasama dengan sahabatnya yang lebih tua, Saw Lwin, ia berkali-kali berkeliling dengan ambulans ke wilayah protes, membawa korban luka ke rumah sakit.

Saat berkeliling ketiga kalinya, mereka berbelok ke tikungan Merchant Road, salah satu jalan utama, di mana mereka melihat puluhan orang demonstran tewas dan terluka. Darah di mana-mana.

Dua dokter itu melihat seorang gadis muda berseragam SMA yang terluka parah, bersimbah darah. “Saya mendengar dengan hati-hati dan menemukan bahwa jantungnya masih berdenyut,“ kata Win.“ Gadis itu berbisik,“Saudaraku, tolong saya…“

Tragis

Saat mereka membawa gadis itu ke ambulans seorang fotografer Amerika bernama Steve Lehman, memotret adegan itu: mengabadikan ketakutan dan kelelahan yang terlihat jelas.

Gadis itu tak pernah melihat foto itu, karena ia meninggal pada malam harinya.

Beberapa pekan kemudian, saat foto itu muncul di sampul majalah Newsweek, Win Zaw takut itu akan menjadi masalah. Pada 1992, ia ditahan oleh militer, ditutup matanya, dan dibawa ke pusat interogasi dan ditahan selama lima hari. Meski tidak disiksa tapi ia sangat shock dengan penangkapan itu. Ia juga dimasukkan dalam daftar hitam oleh pemerintah dan tidak bisa memperoleh paspor selama hampir 20 tahun.

Hal yang lebih buruk menimpa Saw Lwin. Ayahnya, seorang pejabat penting di TV pemerintah, dipaksa mengundurkan diri. Melihat itu semua, dan merasa bersalah atas apa yang terjadi pada ayahnya, menimbulkan depresi berkepanjangan. Pada tahun 1996 ia memilih bunuh diri.

“Saya kehilangan sahabat, seorang kawan,” kata Win Zaw.

Dua puluh lima tahun setelah kerusuhan, masih banyak yang tak terucap di Myanmar.

ab/hp (ap,afp,rtr)