1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

20 Tahun Reformasi dan Wajah-wajah Tak Berganti

8 Mei 2018

Demokrasi di negeri ini menampakkan wajahnya yang paling muram, ketika figur-figur yang menguasai arena publik, tak kunjung berganti memasuki dua dekade reformasi. Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/2wjUR
Aburizal Bakrie
Foto: picture-alliance/AP Photo/Tatan Syuflana/Detail

Menjelang huru-hara pertengahan 1998, yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Mei 1998, tokoh yang acapkali muncul di media adalah Jenderal Wiranto (selaku Panglima TNI) dan Letjen Prabowo Subianto (selaku Pangkostrad dan Danjen Kopassus).

Kini dua wajah itu masih masih juga sering kita lihat, bahkan khusus untuk Prabowo, durasinya kemungkinan akan lebih panjang lagi. Prabowo akan maju lagi sebagai capres pada Pilpres 2019. Daftar ini masih bisa ditambah lagi dengan nama-nama "vintage” lain, seperti Luhut B. Panjaitan  (Menko Maritim), Hendro Priyono (king maker  rezim Jokowi), Mas Tommy (Soeharto), dan seterusnya

Sejarah seperti berulang. Bila di masa Orde Baru kita sulit meramalkan kapan kekuasaan Soeharto akan berakhir. Hari ini kita terantuk pada pertanyaan yang sama: kapan figur-figur super senior seperti Wiranto, Hendro Priyono dan seterusnya, akan surut dari panggung kekuasaan. Bila tidak segera pamit, kita akan melihat fenomena unik  politik Indonesia mutakhir, bagaimana predikat sebagai "petahana” di ruang publik  bisa berlanjut sepanjang hayat.

Penulis:  Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Rakyat tak berdaya

Prabowo adalah salah satu kasus, bahwa memang ada segelintir orang yang begitu dimanjakan  sejarah. Dengan segala kompleksitas masalahnya di masa lalu, sejarah masih terus memberi kesempatan pada Prabowo, dan figur vintage lainnya, untuk terus menyusuri lorong waktu yang seakan tiada batas. Sementara di sisi lain,  arus bawah masyarakat kita terbiasa permisif menghadapi perilaku orang-orang besar.

Upaya trah Cendana untuk kembali memasuki  arena politik, melalui partai yang baru saja diloloskan KPU, yaitu Partai Berkarya, bisa menjelaskan soal bagaimana permisifnya masyarakat kita, dan situasi ini dipahami benar oleh trah Cendana. Keluarga Cendana juga tahu, bahwa suara rakyat bisa direkayasa (baca: dibeli), sehingga dengan dukungan dana tak terbatas, mereka percaya diri untuk masuk kembali ke panggung politik Tanah Air.

Tetap bertahannya figur seperti Prabowo, atau lancarnya proses kebangkitan trah Cendana, memang karena ada pihak yang berperan menciptakan kondisi seperti itu. Dalam pengamatan saya, pihak yang berperan adalah apa yang biasa disebut sebagai kurir (broker) atau caraka, yang mengemban tugas sebagai messenger (penyampai pesan) elite politik, khususnya di Jakarta.

Sudah bisa dipastikan, figur sekelas Prabowo, Wiranto, Hendro Priyono, Mas Tommy dan seterusnya, tidak mungkin berhubungan langsung dengan rakyat, kecuali bagi kegiatan yang bersifat seremonial. Pada titik inilah diperlukan peran caraka, untuk mengemas dan mengirim,  kehendak segenap figur berpengaruh tersebut, kepada kelompok sasaran, dalam hal ini rakyat kebanyakan, termasuk logistik pendukungnya, agar proyek penyampaian pesan berjalan mulus.

Dalam bahasa yang lebih singkat,  aktualitas kehadiran tokoh-tokoh lama tersebut sebenarnya meragukan, sebab tidak ada jaminan akan selaras dengan aspirasi rakyat. Realitas  ini sekadar penegasan dari adagium yang menyatakan, bahwa sejarah ditulis oleh orang-orang besar.  Sementara rakyat dengan segala keterbatasannya, senantiasa berada di tubir ketidakpastian nasib, termasuk dalam soal penyampaian aspirasi.

Baca juga:

20 Tahun Reformasi: Menabur RKUHP, Menuai Penguasa LalimJoko Widodo: Pencitraan, Tabir Asap Atau Strategi Politik Menjelang 2019?

 

Tugas sejarah Prabowo dan Jokowi

Sudah ramai menjadi wacana publik, bahwa kontestasi dalam Pilpres 2019, akan kembali diikuti oleh petahana Presiden Jokowi, dan (lawan abadinya) Prabowo. Menjadi tugas sejarah bagi Jokowi atau Prabowo, seandainya terpilih sebagai presiden untuk mengembalikan kembali martabat rakyat (jelata), yang aksesnya pada sumberdaya ekonomi dan politik sudah dibatasi sejak rezim Orde Baru.

Problem utama rakyat adalah kemiskinan akut, sementara di tempat lain ada segelintir orang dengan kekayaan yang sangat fantastis, meski  didapat dari hasil korupsi. Untuk menjelaskan polarisasi kaya-miskin, tidak perlu lagi penjelasan berlembar-lembar naskah, kita langsung lihat saja di lapangan, sehingga data kuantitatif menjadi soal nomor dua.

Sejak masih kampanye, Presiden Jokowi sudah mengintrodusir konsep revolusi mental, sebagai salah satu cara meredam kecenderungan perilaku tamak pada (sebagian) masyarakat kita, namun belum jelas hasilnya sampai sekarang. Perkara korupsi dan kemiskinan ibarat kutukan bagi setiap rezim di negeri ini. Rakyat seolah mendapat kesialan ganda, sudah hidupnya tertatih-tatih, masih pula menyaksikan para pejabat publik ditangkap KPK setiap waktu.

Keberadaan lembaga negara seperti UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinanaan Ideologi Pancasila) diharapkan bisa merumuskan bagaimana meredam kerakusan pejabat publik, melalui implementasi konkret ideology Pancasila. Pejabat publik umumnya belum puas hanya dengan predikat hidup berkecukupan atau sejahtera, mereka ingin status lebih dahsyat lagi, yaitu kaya-raya. Terlebih dengan ditingkatkannya status UKP-PIP menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, kiranya lembaga ini bisa juga berfungsi penindakan, seperti  satuan provost di lingkungan militer, sebagai unit penegak disiplin pejabat publik yang bebal.

Masa depan anak-anak rakyat jelata

Salah satu opsi yang bisa diambil anak-cucu rakyat jelata, agar bisa meningkatkan posisi tawar di hadapan penguasa yang senantiasa abai terhadap nasib orang tua mereka, adalah dengan memasuki pendidikan kedinasan, seperti Akmil, AAU, AAL dan seterusnya. Harus diakui, pendidikan seperti  Akmil, memiliki reputasi meyakinkan dalam membentuk karakter seseorang. Selain itu dengan menjadi perwira, setidaknya nasib mereka bisa sedikit terangkat

Prasyarat yang harus dipenuhi generasi penerus rakyat jelata, ketika memasuki dunia militer adalah, kesiapan mental dalam kompetisi karier menghadapi perwira-perwira lain yang berlatar belakang elite militer juga. Kalau soal kecerdasan, saya sendiri percaya banyak anak-anak dari keluarga miskin yang pintar,  termasuk dalam hal potensi kepemimpinan (leadership).

Benar, memilih karier sebagai perwira bagi generasi penerus rakyat jelata hanyalah salah satu opsi. Namun satu hal yang pasti, ini pilihan yang dijamin aman, sebab kalau melalui jalur sipil, saya khawatir mereka akan tenggelam ditelan rimba politik kita yang  absurd.

Di dunia sipil, perilaku oknum lembaga negara maupun parpol (termasuk ormas) sangat mencemaskan. Jangan-jangan mereka justru terkena masuk jebakan lingkaran setan, berupa kesialan tiada akhir,  karena terbawa arus petualangan para kurir atau broker politik, yang selama ini sudah memperdaya orang tua mereka.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis